Thursday, March 27, 2008

SABAR: KUNCI KECERDASAN EMOSIONAL

Assalamualaikum w.w.

Untuk konsumsi pribadi, agak 'sensitif' klo dikirimkan ke milis :-)

wass.w.w.


KH. Jalaluddin Rakhmat

Manusia mempunyai dua dimensi kepribadian. Pertama, yang disebut dengan al-bu'dul malakuti atau dimensi kemalaikatan yang berasal dari alam malakut. Ada satu bagian dalam diri kita yang membawa kita ke arah kesucian, yang mendekatkan diri kita kepada Allah. Dimensi ini mendorong kita untuk berbuat baik, mem-buat kita tersentuh oleh penderitaan orang lain, dan mengajak kita untuk membantu mereka yang memerlukan bantuan. Dengan kata lain, dimensi ini adalah sisi kebaikan yang ada dalam diri manusia. Dimensi kedua, adalah dimensi kebinatangan atau al-bu'dul bahimi. Dimensi inilah yang mendorong manusia untuk berbuat buruk, membuat hati kita keras ketika melihat penderitaan orang lain, dan menimbulkan rasa iri kepada orang lain yang lebih beruntung. Dimensi ini juga menggerak-kan kita untuk marah dan dendam kepada sesama manusia. Inilah sisi buruk dalam diri manusia.

Jika dimensi kemalaikatan membawa manusia dekat kepada Allah, dimensi kebinatangan membawa manusia dekat dengan setan. Setan sebenarnya tidak mempunyai kemampuan untuk menyesatkan manusia, kecuali kalau manusia membantunya dengan membuka sisi kebinatangannya. Karena itulah setan pernah berjanji di hadapan Allah, Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semua. Kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas. (QS. Shad  82-83). Sebenarnya yang bisa disesatkan oleh setan adalah hamba-hamba Allah yang membuka sisi kebinatangannya. Al-Ghazali menyebut sisi ini sebagai pintu gerbang setan atau madakhilus syaithan.

Bila orang sering membuka pintu gerbang kebinatangannya, setan dapat masuk  melakukan provokasi di dalamnya. Oleh karena itu, bagian kebinatangan yang ada dalam diri manusia sering disebut dengan pasukan setan. Melalui pasukan setan inilah setan dapat mengarahkan manusia untuk berbuat buruk. Dua dimensi ini, malakuti dan bahimi, terus menerus bertempur dalam satu peperangan abadi yang dalam Islam disebut dengan al-jihadul akbar, peperangan yang besar. Jihad yang agung itu adalah peperangan melawan bagian dari diri manusia yang ingin membawa kita jauh dari Allah. Tugas kita adalah memperkuat al-bu'dul malakuti itu, supaya kita memenangkan pertempuran agung.

Ada dua hal yang harus dilakukan manusia agar ia dapat memenangkan per-tempuran agung itu, yaitu shalat dan sabar. Minta tolonglah kamu (dalam jihad akbar ini) dengan melakukan shalat dan sabar, sesungguhnya itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (QS Al-Baqarah 45).

Ada sebuah buku yang harus kita baca untuk melatih kesabaran. Buku yang ditulis oleh Daniel Goleman itu berjudul Emotional Intelligence (1). Menurut Goleman, para  psikolog telah melupakan satu bagian penting dalam jiwa manusia yang bernama emosi. Psikolog jarang  membicarakan emosi, padahal emosi itu sangat menentukan kebahagiaan dan penderitaan manusia. Emosi juga melindungi manusia terhadap bebagai bahaya. Emosi adalah hasil perkembangan evolusi manusia yang paling lama, dan emosi terpusat pada salah satu bagian otak manusia di bawah sistem yang sudah berkembang dalam evolusi semenjak evolusi mamalia terjadi.

Emosi sangat mempengaruhi kehidup-an manusia ketika dia mengambil keputusan. Tidak jarang suatu keputusan diambil melalui emosinya. Tidak ada sama sekali keputusan yang diambil manusia murni dari pemikiran rasionya karena seluruh keputusan manusia memiliki warna emosional. Jika kita memper-hatikan keputusan-keputusan dalam kehidup-an manusia, ternyata keputusannya lebih banyak ditentukan oleh emosi daripada akal sehat.

Emosi yang begitu penting itu sudah lama ditinggalkan oleh para peneliti padahal kepada emosi itulah bergantung suka, duka, sengsara, dan bahagianya manusia. Bukan kepada rasio. Karena itulah Goleman meng-usulkan selain memperhatikan kecerdasan otak, kita juga harus memperhatkan kecerdas-an emosi. Ia menyebutkan bahwa yang menentukan sukses dalam kehidupan manusia bukanlah rasio tetapi emosi. Dari hasil peneliti-annya ia menemukan situasi yang disebut dengan when smart is dumb, ketika orang cerdas jadi bodoh. Ia menemukan bahwa orang Amerika yang memiliki kecerdasan atau IQ di atas 125 umumnya bekerja kepada orang yang memiliki kecerdasan rata-rata 100. Artinya, orang yang cerdas umumnya menjadi pegawai kepada orang yang lebih bodoh dari dia. Jarang sekali orang yang cerdas secara intelektual sukses dalam kehidupan. Malahan orang-orang biasalah yang sukses dalam kehidupan.

Lalu apa yang menentukan sukses dalam kehidupan ini? Bukan kecerdasan intelektual tapi kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional diukur dari kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri. Dalam Islam, kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri disebut sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi dalam kecerdasan emosionalnya. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan. Ketika belajar orang ini tekun. Ia berhasil mengatasi berbagai gangguan dan tidak memperturutkan emosi-nya. Ia dapat mengendalikan emosinya.

Di dalam buku itu, diceritakan betapa fatalnya orang yang tidak memiliki kecerdasan emosional. Seperti dalam kisah nyata berikut ini: Pada satu saat, ada seorang anak meminta izin kepada orang tuanya untuk menginap di tempat kawannya. Sementara anak itu pergi, orang tuanya pergi untuk menonton opera. Tak lama dari itu, si anak kembali ke rumah karena tidak betah tinggal di rumah temannya. Pada saat itu, orang tuanya masih menonton opera. Anak nakal itu mempunyai rencana. Ia ingin membuat kejutan untuk orang tuanya ketika pulang ke rumah pada waktu malam. Ia akan diam di toilet dan jika orang tuanya datang, ia akan meloncat dari toilet itu sambil berteriak. Beberapa saat kemudian, orang tuanya pulang dari opera menjelang tengah malam. Mereka melihat lampu toilet di rumahnya menyala. Mereka menyangka ada pencuri di rumahnya. Mereka masuk ke rumah perlahan-lahan sambil membuka pintu untuk segera mengambil pistol dan lalu mengendap naik ke atas loteng tempat toilet itu berada. Ketika sampai di atas, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari toilet itu. Ditembaklah orang yang berteriak itu sampai lehernya putus. Dua jam kemudian anak itu meninggal dunia.

Saya bisa bayangkan betapa menyesal-nya kedua orang tua itu. Mereka bertindak terlalu cepat. Mereka mengikuti emosi takut dan kekhawatirannya sehingga panca indranya belum sempat menyampaikan informasi yang lengkap tentang orang yang meloncat dan berteriak itu. Terjadi semacam Closed Circuit. Mestinya mereka menganalisis dulu. Mereka lihat siapa orang itu. Itu menunjukkan kurang terlatihnya kecerdasan emosional. Tidak terbiasa bersabar. Mereka memperturutkan emosinya dalam bertindak. Orang ini dikategori-kan sebagai orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah.

Sebenarnya teori Daniel ini dapat disimpulkan dalam peribahasa Arab: man shabara zhafara, barang siapa yang bersabar, ia akan sukses. Hal ini bisa dikaitkan bahwa orang yang sukses dalam hidupnya adalah orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi atau orang-orang yang sabar. Keadaan ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara sukses dengan kecerdasan. Kecerdasan emosional bisa dibentuk dengan melatih kesabaran dan tekun dalam menempuh perjalanan sabar. Seperti itulah seorang sufi yang menempuh perjalanan menuju Allah. Ia tempuh berbagai bencana tetapi ia tetap sabar. Itulah cara mengembangkan kecerdasan emosional.

Orang-orang yang cerdas secara emosional adalah orang yang sabar dan tabah dalam menghadapi berbagai cobaan. Ia tabah dalam mengejar tujuannya. Orang-orang yang bersabar menurut Al-Quran akan diberi pahala berlipat ganda di dunia dan akhirat: Mereka itulah yang mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. Al-Baqarah 157). Ada beberapa pahala yang akan diperoleh bagi orang yang bersabar yaitu shalawat (keberkatan yang sempurna), rahmat, dan hidayat.

Ada tiga jenis kesabaran; Pertama, sabar dalam menghadapi musibah. Kedua, sabar dalam melakukan ibadah. Ketiga,  sabar dalam menahan diri untuk tidak melakukan maksiat.

Sabar dalam menghadapi musibah pahalanya lebih besar. Bahkan menurut Al-Quran, pahalanya diberikan tanpa perhitungan: Allah beri pahala kepadanya tanpa perhitungan  (Az-Zumar 10). Sabar dalam menjalankan ibadah pahalanya lebih besar daripada sabar dalam menghadapi musibah. Dan sabar dalam menahan diri akan melakukan maksiat pahalanya jauh lebih besar daripada dua jenis sabar yang lainnya.

 ***

Ada sebuah riwayat tentang kesabaran yang diceritakan dalam kitab Jihadun Nafs (2) karya Ayatullah Mazhahiri: Dimasa Rasulullah, ada perempuan yang memiliki anak kecil. Perempuan ini seorang muslimah. Ia tidak bisa membaca dan menulis tapi ia mukmin yang sejati. Imannya memenuhi jantung dan hatinya. Keimanannya dibuktikan dalam kesabaran ketika menghadapi ujian.

Suatu hari anaknya itu sakit sementara suaminya sedang berada di tempat jauh untuk bekerja. Ketika suaminya bekerja, si anak kecil itu meninggal dunia. Istri itu duduk di samping anaknya dan menangis sejenak. Ia terjaga dari tangisannya. Ia menyadari bahwa sebentar lagi, suaminya akan pulang. Ia bergumam, "Kalau aku menangis terus menerus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan aku akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia akan pulang dalam keadaan lelah." Kemudian ia meletakkan anaknya yang sudah meninggal itu pada suatu tempat.

Tibalah suaminya dari tempat kerjanya yang jauh. Ketika suaminya hendak masuk ke rumah, istri itu menyambutnya dengan senyum ramah. Ia sembunyikan kesedihan dan ia sambut suaminya dengan mengajaknya makan. Ia basuh kaki suaminya itu. Suaminya berkata, "Mana anak kita yang sakit?" Istrinya menjawab, "Alhamdulillah ia sudah lebih baik." Istri itu tidak berbohong karena anak kecilnya sudah berada di surga yang keadaannya jauh lebih baik.  Istri itu terus berusaha menghibur suaminya yang baru datang. Ia ajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh. Sang suami bangun, mandi, dan shalat qabla subuh.

Ketika ia akan berangkat ke mesjid untuk shalat berjamaah, istrinya mendekat sambil berkata, "Suamiku aku punya keperluan." "Sebutkanlah," kata suaminya. Sang istri menjawab, "Kalau ada seseorang yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada saatnya orang itu mengambil amanat tersebut dari kita, bagaimana pendapatmu kalau amanat itu kita tahan dan kita tidak mau memberikan kepadanya?" Suaminya men-jawab, "Pastilah aku menjadi suami yang paling buruk akhlaknya dan khianat dalam beramal. Itu merupakan perbuatan yang sangat tercela. Aku wajib mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya." Lalu istrinya berkata, "Sudah tiga tahun, Allah menitipkan amanat kepada kita. Hari kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu dari kita. Anak kita sekarang sudah meninggal dunia. Ia ada di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah engkau dan lakukanlah shalat." Suaminya pergi ke kamar untuk menengok anaknya yang telah meninggal.

Ia lalu pergi ke masjid untuk shalat berjamaah di masjid Nabi. Pada waktu itu Nabi menjemputnya seraya berkata, "Diberkatilah malam kamu yang tadi itu." Malam itu adalah malam ketika suami istri itu bersabar dalam menghadapi musibah.

Dari cerita itu kita dapat menangkap bagaimana sang istri memperlakukan suami dengan sabar dan suami memperlakukan istri dengan sabar pula. Dalam istilah modern, kedua suami istri itu memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Biasanya keluarga seperti ini bisa bertahan lama.

***

Ada suatu riwayat lain tentang kesabaran: Dahulu di zaman Harun Al-Rasyid, terdapat seorang perdana menteri yang bernama Al-Asma'i. Suatu hari, ia pergi berburu ke padang pasir. Di satu tempat ia terpisah dengan kafilahnya. Ketika itu ia berada di tengah-tengah sahara dalam keadaan kehausan dan kepanasan. Lalu ia melihat ada sebuah kemah di tengah-tengah padang sahara. Ia berjalan mendekati kemah dan ia melihat di kemah itu ada seorang perempuan muda yang sangat cantik.

Perempuan itu sendirian. Ketika perempuan itu melihat Al-Asma'i mendekati kemah, ia mempersilahkannya untuk masuk ke kemahnya dan menyuruhnya untuk duduk di tempat yang agak jauh darinya. Al-Asma'i berkata kepadanya, "Tolong beri aku air minum." Wajah perempuan itu berubah, ia berkata, "Sungguh, aku tidak bisa memberikan air kepadamu sebab suamiku tidak mengizin-kanku untuk memberikan air kepada orang lain. Tapi aku punya bagian makan pagiku yaitu susu. Aku tidak makan dan kau boleh meminumnya." Lalu Al-Asma'i meminum susu itu dan perempuan itu tidak berbicara kepadanya.

Tiba-tiba ia melihat perempuan itu berubah wajahnya. Dari jauh ia melihat ada titik hitam mendekati kemah. Perempuan itu berkata, "Suamiku telah datang." Perempuan cantik itu membawa air dan pergi keluar dari kemahnya. Ternyata suaminya yang datang itu adalah orang yang hitam, tua, dan berwajah jelek. Perempuan itu membantu kakek tua dari untanya lalu ia basuh dua tangan dan kaki suaminya dan dibawanyalah masuk ke dalam kemah dengan penuh penghormatan. Kakek tua itu sangat buruk akhlaknya. Ia tidak menegur sedikit pun kepada Al-Asma'i. Ia mengabaikan tamu dan memperlakukan istrinya dengan kasar. Al-Asma'i sangat benci kepadanya. Ia berdiri dari tempat duduknya dan pergi keluar kemah.

Perempuan itu mengantarkan Al-Asma'i keluar. Saat itu, Al-Asma'i bertanya kepadanya, "Saya menyesalkan keadaanmu. Kamu, dengan segala kemudaan dan kecantikanmu, sangat bergantung kepada orang seperti dia. Untuk apa kamu bergantung kepada dia? Apakah karena hartanya? Sedangkan ia orang miskin. Atau karena akhlaknya? Sedangkan akhlaknya begitu buruk. Atau kamu tertarik kepada dia karena ketampanannya? Padahal ia seorang tua yang buruk rupa. Mengapa kamu tertarik padanya?"


Wajah perempuan itu pucat pasi. Lalu ia berkata dengan suara yang sangat keras, "Hai Asma'i! Akulah yang menyesalkan kamu. Aku tidak menyangka seorang perdana menteri Harun Al-Rasyid berusaha menghapuskan kecintaanku kepada suamiku dari hatiku dengan jalan menjelek-jelekkan suamiku. Wahai Asma'i tidakkah kau tahu mengapa aku melakukan semua itu? Aku mendengar Nabi yang mulia bersabda: Iman itu setengahnya adalah kesabaran dan setengahnya lagi adalah syukur. Aku bersyukur kepada Allah karena Ia telah menganugerahkan kepadaku kemudaan, kecantikan, dan akhlak yang baik. Aku ingin menyempurnakan setengah imanku lagi dengan kesabaran dalam berkhidmat kepada suamiku."


Jadi, perempuan di atas ingin menyempurnakan setengah keimanannya dengan kesabaran setelah ia bersyukur akan kemudaan, kecantikan, dan kebaikan akhlak-nya. Ia bersabar dengan jalan mengabdikan seluruh hidupnya kepada suaminya. Jika ada orang yang bersyukur tapi ia tidak bisa bersabar, imannya tidak sempurna. Karena ia kehilangan setengah imannya yang lain. Hadis ini jangan dipandang dalam perspektif kaum feminis. Tapi pandanglah sebagai kecintaan seorang istri yang dengan sabar berkhidmat kepada suaminya.

Menurut Goleman, ketika kita meng-hadapi kesusahan, salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan melihat kembali persoalan itu dari sudut yang lain. Maksudnya, cobalah kita pahami dan tafsirkan persoalan itu secara seksama. Carilah perspektif lain dalam memandang berbagai masalah itu. Karena itu akan membawa kita kepada kondisi yang lebih kuat dalam menghadapi musibah.

Allah swt menyediakan tiga pahala bagi mereka yang bersabar: kesejahteraan di dunia dan akhirat, rahmat dan kasih sayang Allah, dan petunjuk dalam menghadapi berbagai kesulitan yang dihadapinya. (lihat QS. Al-Baqarah 155-157). 

1. Goleman, Daniel, Emotional Intelligence, Bantam Books, USA, 1996.

2. Al-Ustadz Mazhahiri, Jihad al-Nafs, Al-Mahijjah Al-Baidha. Beirut, 1993, hal. 69-70.

Manusia adalah maujud yang mencintai dan selalu mencari kesempurnaan mutlak. Secara fitrah, ia terdorong untuk mencarinya namun manusia sering salah jalan dan tersesat. Syaikh Al-Akbar, Ibn 'Arabi mengatakan: Tak seorang manusia pun yang mencintai selain Tuhannya. Misalnya Majnun mengira dirinya mencintai Laila. Majnun tidak tahu dan tidak menyadari apa yang sesungguhnya terpendam dalam fitrahnya.

Naluri dan Fitrah
Seseorang tidak bisa dicela karena mencintai isterinya atau anaknya atau bahkan harta kekayaannya. Cinta seperti itu adalah naluri yang lumrah dan wajar (lihat QS. Ali Imran 14). Binatang pun memiliki naluri kecintaan seperti ini yang terwujud dari sifat ke-Rahman-an Allah.

Karena itulah, orang yang mengorban-kan keluarga dan anak-anak yang dicintainya dipandang sebagai kekasih Allah.

Nabi Ibrahim as bersedia mengorban-kan anaknya, Ismail as betapa pun besar ke-cintaannya kepadanya. Sekiranya perasaannya terhadap anaknya sama dengan perasaannya terhadap seekor kambing, maka kesediaannya untuk mengorbankan anaknya tidaklah dinilai sebagai suatu keistimewaan; karena dalam pandangannya hal itu sama dengan mengor-bankan seekor kambing.

Demikian pula tindakan Sayyidus Syuhada, Imam Husein yang mengorbankan anak-anak, saudara, dan kaum kerabatnya di jalan Allah swt. Imam Husein dikenal sangat mencintai keluarganya. Kakeknya bersabda: Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, Allah tidak akan menaruh cinta kasihnya kecuali atas hati yang memiliki cinta kasih.

Cinta Yang Membelenggu
Jika kecintaan seseorang tumbuh dan menjadi berlebihan, maka kecintaan yang seperti inilah yang tercela. Kecintaan kepada yang nisbi dan fana secara berlebihan adalah bertentangan dengan fitrah manusia.

Plato mengatakan: Manusia pada mulanya akan mengejar setiap yang diinginkan dan dicintainya dengan dambaan dan harapan yang luar biasa. Namun ketika yang dicintainya itu sudah didapatkan, maka kecintaan dan kesukaannya akan segera berubah menjadi kebosanan dan kejenuhan.

Manusia tidak dapat selalu bersama dengan sesuatu yang fana. Karenanya, apabila manusia mencintai sesuatu yang nisbi secara berlebih-lebihan, maka cintanya ini tidak saja membutakannya, bahkan membelenggunya. Tak sadar ia telah menjadi budak dari kecinta-annya itu.

Cinta Yang Membebaskan
Sebaliknya, cinta yang mengikuti fitrah manusia akan membebaskannya atau dengan kata lain telah menjadikannya merdeka dan terbebaskan. Imam Ali as mengatakan: Manusia di dunia ini terbagi menjadi dua. Yang pertama adalah mereka yang datang ke pasar dunia ini dan menjual dirinya hingga menjadi budak. Yang kedua adalah mereka yang membeli dirinya di pasar dunia dan menjadikannya merdeka. (Kitab Nahjul Balaghah).

Manusia yang menjatuhkan pilihan cintanya kepada Allah melebihi segala-galanya adalah manusia yang merdeka dan terbebas-kan. Ia menjadi tercerahkan. Manusia pecinta Tuhan tidak bisa didikte apalagi dibeli oleh harta bahkan kekuasaan sekali pun. Cinta yang membebaskan bukanlah cinta yang muncul dari perasaan-perasaan sentimental.

Cinta seperti inilah yang juga dimiliki oleh Uwais Al-Qarny, salah seorang sufi yang mencintai keluarga Nabi saw. Banyak hadis Nabi yang menyebutkan keutamaannya. Uwais adalah seorang yang hidup di zaman Nabi saw tetapi tidak pernah berjumpa dengan Nabi saw. Di dalam hadis Shahih Muslim, Nabi saw memujinya. Nabi bahkan menyuruh sahabat Umar bin Khaththab untuk memintakan doa kepada Uwais agar dosanya diampunkan Allah. Dalam akhir hadis tersebut diriwayatkan ketika Uwais setelah mendoakannya, Umar bertanya kepadanya, "Engkau hendak ke mana?" Uwais menjawab, "Ke Kufah." Umar menawarkan surat katebelece kepadanya, "Apa tidak lebih baik kalau saya tulis surat berkenaan dengan engkau kepada Gubernur Kufah?" Uwais menolaknya dan berkata, "Saya lebih menyukai keadaan saya tidak dikenal orang."

Mengenai keutamaan Uwais ini, Nabi saw pernah mengatakan tentangnya, "Dia tidak dikenal di bumi tetapi terkenal di langit." Uwais adalah contoh seorang pecinta yang memiliki jenis cinta yang membebaskan. Cinta yang membuatnya tidak terikat kepada hal-hal duniawi. Cinta yang melepaskannya ke arah tujuan tercinta, Allah swt.

Alkisah, ada seorang sufi berkunjung kepada temannya yang juga sufi. Temannya itu kebetulan sedang sakit dan ia mengeluh tentang sakit yang dideritanya. Sufi yang datang menengok itu berkata, "Bukan seorang pencinta sejati bila ia mengeluhkan penyakit yang diberikan oleh kekasihnya." Lalu sufi yang sakit itu menjawab, "Bukan seorang pecinta sejati bila ia tidak menikmati pemberian kekasih sejati."

Dari cerita di atas kita dapat menarik pelajaran berharga bahwa hendaknya kita harus merubah persepsi tentang sakit yang pernah kita alami. Persepsi kita selama ini adalah menganggap sakit itu sebagai suatu penderitaan yang diberikan Allah kepada kita. Dari anggapan ini kita berkesimpulan bahwa Allah tidak mencintai kita lagi. Sikap yang bijak adalah menikmati keindahan sakit seperti yang dialami sufi tadi. Menikmati bukan berarti berdiam, pasrah tanpa tindakan, tapi merenung lebih dalam akan hakikat sakit yang diberikan oleh Allah. Proses perenungan ini akan meng-hasilkan nilai atau pandangan yang akan mendatangkan kenikmatan bagi kita. Dan kita akan tahu betapa nikmatnya merasakan cinta Allah dalam bentuk sakit.

Sufi itu juga mengajarkan kepada kita hendaknya tabah dalam menerima cobaan Allah. Penderitaan akan mengantarkan kita kepada posisi mendekati Allah dan membuka pintu kasih sayang Allah. Bukankah Imam Ja'far As-Shadiq as pernah berkata, "Kalau seseorang berada dalam kesedihan, bergegaslah berdoa. Karena pada saat itulah Allah akan mengijabah doa orang itu."

Rahmat Allah datang dan mendekat ketika kita sedang didera derita. Timpaan derita perlahan-lahan akan membuat hati kita menjadi lebih lembut dan dekat dengan Allah. Jika pada kondisi seperti ini kita berdoa, insya Allah Tuhan membuka pintu ijabah-Nya.

Kadang kita tidak tahan dengan penderitaan yang menimpa. Kita tidak sabar sehingga kita menganggap Allah tidak adil. Kita mencerca Allah dan berkata Allah sedang menjauhkan kasih sayang-Nya dari kita. Dalam ilmu jiwa, kita ini disebut sebagai orang yang memiliki kecedasan emosional yang rendah. Kesabaran atau emosi kita lemah. Kita tuding Allah dengan emosi kekesalan. Kita tidak menilai Allah dengan kelembutan cinta dan hati yang bersih. Tidak tahukah kita bahwa kasih sayang  dan keadilan Allah sungguh lebih besar dari kasih sayang seorang ibu kepada anaknya?

Pernah suatu hari Rasul bersama para sahabat dalam perjalanan kembali dari perang melihat seorang ibu lari menyeruak ke tengah-tengah bekas pertempuran. Ia gelisah, di wajah-nya tersimpan kekhawatiran yang mendalam. Ia sedang mencari putranya. Ia berlari dihadang debu yang beterbangan disapu angin. Akhirnya ia menemukan putranya itu. Ia dekap putranya dengan kerinduan dan kecemasan. Diberinya-lah air susu. Matahari menyengat panas mengenai kulit anak itu. Dengan perlahan ibu itu menggerakkan tubuhnya, ia hadang sengatan matahari itu dengan punggungnya. Rasul menyaksikan kejadian itu, lalu ia berkata pada sahabat yang lain, "Lihat betapa sayangnya ibu itu kepada anaknya. Mungkin-kah ibu itu melemparkan anaknya ke api neraka?" Para sahabat menjawab, "Tidak mungkin, Ya Rasulallah." Lalu rasul berkata, "Kasih sayang Allah jauh lebih besar dari kasih sayang ibu itu."

Rasul pernah didatangi oleh seorang sahabat. Ia berkata,"Ya Rasulallah harta saya hilang dan tubuh saya sakit." Lalu Nabi berkata, "Tidak ada baiknya orang yang tidak pernah hilang hartanya dan sakit badannya. Sesung-guhnya jika Allah mencintai hambanya ia akan coba hambanya dengan berbagai penderitaan." Orang yang pernah kehilangan dan kesakitan menurut Rasul ada nilai kebaikan di dalamnya. Kebaikan bisa berarti akan tambah lembutnya hati dan mengantarkan kita untuk terus berdoa. Allah berfirman, "Rintihan seorang mukmin lebih disukai Allah daripada gemuruh suara tasbih."

Setiap saat kita mengalami penderitaan atau memerlukan sesuatu pada Allah. Doa adalah sarana utama untuk mencapai dan mengangkat keinginan kita itu. Jika kita menyelidiki doa-doa dalam wacana kehidupan manusia, ada keterkaitan yang erat antara doa dengan penderitaan.
Rekayasa Riya'

Kita seringkali terpesona oleh penampakkan-penampakkan lahiriah yang ditangkap oleh mata kita. Begitu pula jika kita ingin mempengaruhi orang lain, kita selalu merekayasa penampilan atau penampakkan lahiriah kita. Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah upaya manusia untuk mengatur penampakkan lahiriahnya supaya dinilai orang lain bahwa ia adalah orang alim atau orang saleh yang dekat kepada Allah swt.Meskipun hal itu masalah hati nurani, kita dapat dengan mudah mengidentifikasi orang yang Riya. Ciri orang Riya adalah ia punya dua wajah; wajah publik dan wajah privat. Wajah publik adalah penampilan yang ia tampakkan di hadapan umum sedangkan wajah privat adalah penampilan yang ia tampakkan di lingkungan yang terbatas. Bila ia salat di depan orang banyak (di hadapan publik), salatnya amat rajin sementara ketika ia salat sendirian (di lingkungan privat), salatnya menjadi malas. Contoh lain adalah seseorang yang selalu melakukan salat sunat di masjid tetapi selalu meninggalkannya ketika ia di rumah. Orang tersebut akan menambah amalnya bila di hadapan orang banyak dan mengurangi amalnya bila ia sendirian. Ketika di hadapan orang banyak, ia akan sangat memperhatikan waktu salat sementara di rumahnya, ia jarang salat tepat waktu.

Upaya rekayasa itu di dalam Islam disebut dengan Riya. Riya berasal dari kata ra'a yang berarti melihat. Secara harfiah, Riya ber-arti mengatur sesuatu agar dapat dilihat oleh orang lain. Riya adalah mengatur perilaku kita agar dilihat oleh orang lain dan tujuan akhirnya, agar orang lain itu akan menyimpulkan bahwa kita ini orang saleh. Bagaimana bila kita meng-atur penampakkan (appearance) kita bukan untuk dinilai sebagai orang saleh melainkan agar dinilai sebagai orang kaya? Hal itu tidak disebut Riya karena yang ingin kita ciptakan bukan citra orang saleh melainkan citra orang kaya. Hal itu tidak apa-apa bila tidak dilakukan secara berlebihan. Mengatur penampilan kita dalam sebuah wawancara kerja, supaya kita diterima, tentu saja tidak merupakan suatu dosa.

Suatu hari Rasulullah saw berangkat bersama Aisyah untuk mengunjungi sahabat-nya. Mereka tiba di suatu sumur. Rasulullah saw bercermin kepada air sumur itu dan memperbaiki serbannya kemudian menyisir rambutnya. Aisyah, seperti biasa, sangat pen-cemburu. Ia bertanya, "Mengapa kau lakukan itu, Ya Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab, "Allah swt senang kepada seorang manusia yang bila ia bertemu dengan sahabat-sahabat-nya, ia menampakkan penampilan yang sebaik-baiknya." Bila kita kedatangan tamu atau bila kita akan bertamu, kita harus memakai pakaian kita yang paling bagus dan memperbaiki penampilan kita. Hal itu merupakan sunnah Rasulullah saw. Mengatur penampilan seperti itu tidak merupakan Riya.

Riya hanya berlaku di dalam ibadat. Di luar itu tidak kita sebut dengan Riya. Kita tidak boleh melakukan Riya walaupun sedikit. Rasulullah saw bersabda, "Ketahuilah bahwa Riya itu haram dan orang yang Riya itu dimurkai Allah swt."

Al-Quran surat Al-Ma'un ayat 4-6 mengecam orang-orang yang Riya di dalam salatnya: Maka celakalah orang-orang yang salat, yaitu orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya. Di dalam Al-Quran, Tuhan selalu memuji orang-orang yang salat, kecuali dalam surat Al-Ma'un. Dalam ayat lainnya, yaitu ayat 10 surat Fathir, Allah ber-firman: Dan orang-orang yang melakukan makar, bagi mereka azab yang pedih, dan makar mereka pasti tidak akan beruntung. Al-Quran menyebut orang yang melakukan Riya di dalam ibadatnya sebagai orang yang sedang melaku-kan makar kepada Tuhan. Mereka menipu Tuhan; seakan-akan mereka beribadat kepada Tuhan padahal mereka beribadat kepada manusia. Itulah makar yang paling besar. Mereka melakukan tipuan kepada Allah dan kaum beriman padahal sebetulnya mereka menipu diri sendiri hanya mereka tidak menyadarinya saja.

Lawan dari Riya adalah ikhlas. Ikhlas ialah membantu orang lain karena Allah dan tidak mengharap balasan serta terima kasih. Sementara Riya ialah membantu orang lain karena mengharap akan balasan atau paling tidak ucapan terima kasih. Kadang-kadang kita tidak mengetahui bahwa yang kita lakukan adalah Riya. Ketika kita mengetahuinya bahwa orang lain, yang telah kita tolong, malah berbuat jelek terhadap kita, kita sering memutuskan untuk tidak lagi menolongnya. Itu pertanda bahwa kita menolong karena mengharapkan balasan. Orang yang betul-betul ikhlas tidak akan memperhitungkan apakah orang yang ditolong akan membalas atau berterimakasih. Meskipun demikian, kita harus mendidik orang agar selalu berterima kasih. Orang yang tidak bisa berterima kasih tidak akan pernah bahagia di dalam hidupnya. Ia akan menderita gang-guan psikologis. Orang yang bahagia adalah orang yang penuh dengan rasa terima kasih kepada orang-orang di sekitarnya.

Sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Jakfar Al-Shadiq as meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Akan datang kepada manusia satu zaman ketika orang itu buruk secara batiniah tetapi secara lahiriah mereka tampakkan kebaikannya. Mereka mengharap-kan dunia dan tidak mengharapkan apa yang berasal dari Tuhan mereka. Agama mereka adalah Riya yang tidak disertai rasa takut. Allah akan menimpakan kepada mereka siksa, yang sekiranya mereka berdoa dengan doa seperti orang yang akan tenggelam, Tuhan tidak akan mengijabah doa mereka."

Doa orang yang beramal dengan Riya tidak akan diijabah Tuhan. Yang paling berat, orang yang melakukan Riya akan kehilangan seluruh amalnya di hari kiamat nanti. Pada hari kiamat, orang yang Riya akan dipanggil Allah dengan empat gelaran, "Yâ ghâdir, yâ fâjir, yâ khâsyir, yâ fâsiq. Hai si penipu, si durhaka, si perugi, si fasik!"

Sayidina Ali kw berkata, "Ada tiga tanda orang yang Riya. Dia sangat rajin beribadat bila ada orang yang melihatnya, dia malas bila sendirian, dan dia sangat senang jika dipuji dalam urusannya."

Kiat Melakukan Riya

Berikut ini akan ditunjukkan kiat-kiat untuk melakukan Riya. Hal ini dilakukan untuk mendiagnosa diri kita apakah telah jatuh ke dalam Riya atau tidak. Menurut Al-Ghazali, Riya dilakukan dengan menggunakan lima hal. Pertama, dengan menggunakan tubuh kita. Kita bisa menampakkan kesalehan dengan mereka-yasa tubuh kita. Al-Ghazali mencontohkan tubuh orang yang dikuruskan untuk menun-jukkan bahwa orang itu berpuasa setiap hari, atau orang yang menampakkan bekas sujud di dahinya (yang ia buat dengan menggosok-gosokkan dahinya ke tempat sujud) untuk menampakkan ketekunan dalam beribadat. Tentu saja, tidak semua orang yang kurus tubuhnya dan ada bekas di dahinya adalah orang yang Riya. Contoh lain adalah orang yang sengaja menggetarkan tubuhnya ketika shalat untuk menunjukkan betapa khusyunya orang itu dalam shalatnya.

Kedua, yang dipakai sebagai alat untuk Riya adalah pakaian atau penampilan lahiriah. Misalnya, di zaman dahulu orang memakai pakaian yang compang-camping untuk menunjukkan bahwa dia adalah seorang sufi. Pakaian yang ia pakai terbuat dari kain kasar untuk menunjukkan hidupnya yang sederhana. Bahkan ada orang yang dengan sengaja mengusutkan rambutnya dan menyimpan tanah di atasnya. Ia melakukan hal ini karena ia pernah mendengar sebuah hadis yang meriwayatkan Rasulullah saw ketika memasuki masjid dan menemukan orang yang rambutnya kusut dan tertutup debu. (Pada waktu itu, masjid Nabi tidak beratap sehingga orang yang banyak beribadat di masjid, rambutnya akan tertutupi debu yang terbawa angin padang pasir.) Melihat orang itu, Rasulullah saw bersabda, "Ada orang yang rambutnya kusut masai dan tertutup debu. Sekiranya dia berdoa, Tuhan akan mengijabah doanya." Tanda untuk menampakkan kesalehan yang lain adalah dengan memakai serban, membawa tasbih, dan memakai baju khusus. Sekali lagi, tidak semua orang yang memakai pakaian seperti itu adalah orang yang Riya.

Ketiga,Riya dilakukan dengan ucapan atau perkataan. Ada orang yang mengatur pembicaraannya supaya ia dikenal orang sebagai santri. Ia selalu mengutip ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi. Ia tampakkan kesalehan itu dengan mengeluarkan kata-kata suci dari bibirnya.

Keempat,orang melakukan Riya dengan perbuatan atau perilaku. Misalnya orang yang salat dengan memanjangkan ruku dan sujudnya untuk menampakkan kekhusyuan. Ketika ia mengimami orang banyak, ia baca surat yang panjang sementara ketika ia salat sendirian, ia baca surat yang pendek. Ia meng-hapalkan surat-surat yang panjang hanya untuk dipertunjukkan kepada orang lain. Amal itu ia pergunakan untuk menimbulkan kesan kesalehan. Menampakkan kesalehan melalui ibadat-ibadat ritual adalah hal yang mudah. Tapi bila Riya itu ditampakkan melalui sedekah atau membantu orang lain adalah hal yang sulit, karena hal itu memerlukan pengorbanan.

Kelima, orang melakukan Riya dengan menunjukkan kawan-kawannya atau orang-orang saleh yang ia kenal. Di dalam Psikologi Sosial ada yang dinamakan dengan Gilt by Association, artinya 'cemerlang' karena hubungan baik. Maksudnya, agar seseorang dikenal sebagai orang yang hebat atau orang yang mulia, ia ceritakan sahabat-sahabatnya. Ia suka menceritakan hubungannya dengan orang-orang yang terkenal.

Satu hal yang penting, tidak semua perbuatan kita untuk mengatur perilaku kita adalah Riya. Bila kita atur penampakkan lahiriah kita untuk, misalnya, memberikan contoh yang baik kepada orang lain; supaya orang lain mengikuti teladan kita, maka hal itu bukanlah Riya. Riya tidak diukur dari kelihatan atau tidaknya sebuah amal tapi diukur dari tujuan amal itu dilakukan.

Riya jangan digunakan untuk menilai orang lain tapi gunakan untuk menilai diri sendiri.

Riya dan Hubbul Jaah

Kalau kita merekayasa perilaku kita dengan maksud agar orang lain menganggap kita orang terhormat, pintar, atau kaya, hal itu tidak disebut dengan Riya. Perilaku seperti itu, bila sedikit dilakukan, tidak apa-apa. Tetapi bila dilakukan berlebihan, maka hal itu disebut hubbul jâh, kecintaan kepada penghormatan. Itu merupakan dosa.

Orang yang jatuh kepada hubbul jâh selalu ingin agar dirinya diperlakukan istimewa. Berikut salah satu contoh di antaranya: Apabila seseorang berusaha menampilkan dirinya begitu rupa sehingga orang menilainya sebagai eksekutif yang berkelas (misalnya dengan memakai pakaian mahal yang didesain khusus dan parfum dari luar negeri, yang ia beli bukan atas alasan praktis melainkan alasan gengsi), maka ia tidak memiliki penyakit Riya melainkan penyakit hubbul jâh, kecintaan akan peng-hormatan.

Seorang muslim terlarang untuk ber-usaha mencari penghormatan dari manusia. Dia harus berusaha mencari penghormatan dari Allah swt. Kalau perlu, dia rela menanggung kemarahan dari makhluk, asalkan mendapat rida dari khalik. Orang yang menderita hubbul jâh, malah bersedia menanggung resiko dibenci Tuhan asal disukai orang banyak.

Seorang Riya mengatur perilakunya dalam ibadat untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dengan maksud agar orang menilai dirinya sebagai orang saleh yang taat beragama dan berpegang teguh kepada Al-Quran dan hadis Nabi. Orang seperti ini tidak ingin disebut sebagai orang yang hebat, berkedudukan tinggi, berpangkat, atau orang yang kaya. Dia hanya ingin dinilai orang sebagai orang yang saleh. Untuk itu dia merekayasa perilakunya.
Perbedaan Riya dengan yang bukan Riya adalah amat tipis. Semua itu terpulang kepada hati nurani masing-masing. Ada orang yang berusaha memakai busana muslim misalnya peci, untuk menunjukkan bahwa dia orang alim tapi ada juga orang yang memakai peci, untuk menutupi rambutnya yang menipis.

KEBER-AGAMA-AN SEJATI

Kh. Jalaluddin Rakhmat


Dalam Kitab Matsnawi, Jalaluddin Rumi bercerita: Dahulu, ada seorang muadzin bersuara jelek di sebuah negeri kafir. Ia memanggil orang untuk shalat. Banyak orang memberi nasihat kepadanya: "Janganlah kamu memanggil orang untuk shalat. Kita tinggal di negeri yang mayoritas bukan beragama Islam. Bukan tidak mungkin suara kamu akan menyebabkan terjadinya kerusuhan dan pertengkaran antara kita dengan orang-orang kafir." Tetapi muadzin itu menolak nasihat banyak orang. Ia merasa bahagia dengan melantunkan adzannya yang tidak bagus itu di negeri orang kafir. Ia merasa mendapat kehormatan untuk memanggil shalat di satu negeri di mana orang tak pernah shalat.

Sementara orang-orang Islam mengkuatirkan dampak adzan dia yang kurang baik, seorang kafir datang kepada mereka suatu pagi. Dia membawa jubah, lilin, dan manis-manisan. Orang kafir itu mendatangi jemaah kaum muslimin dengan sikap yang bersahabat. Berulang-ulang dia bertanya, "Katakan kepadaku di mana Sang Muadzin itu? Tunjukan padaku siapa dia, Muadzin yang suaranya dan teriakannya selalu menambah kebahagiaan hatiku?" "Kebahagiaan apa yang kau peroleh dari suara muadzin yang jelek itu?" seorang muslim bertanya.

Lalu orang kafir itu bercerita, "Suara muadzin itu menembus ke gereja, tempat kami tinggal. Aku mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik dan berakhlak mulia. Ia berkeinginan sekali untuk menikahi seorang mukmin yang sejati. Ia mempelajari agama dan tampaknya tertarik untuk masuk Islam. Kecintaan kepada iman sudah tumbuh dalam hatinya. Aku tersiksa, gelisah, dan terus menerus dilanda kerisauan memikirkan anak gadisku itu. Aku kuatir dia akan masuk Islam. Dan aku tahu tidak ada obat yang dapat menyembuhkan dia. Sampai satu saat anak perempuanku mendengar suara adzan itu. Ia bertanya, "Apa suara yang tidak enak ini? Suara ini mengganggu telingaku. Belum pernah dalam hidupku aku mendengar suara sejelek itu di tempat-tempat ibadat atau gereja." Saudara perempuannya menjawab, "Suara itu namanya adzan, panggilan untuk beribadat bagi orang-orang Islam. Adzan adalah ucapan utama dari seorang yang beriman." Ia hampir tidak mempercayainya. Dia bertanya kepadaku, "Bapak, apakah betul suara yang jelek itu adalah suara untuk memanggil orang sembahyang?" Ketika ia sudah diyakinkan bahwa betul suara itu adalah suara adzan, wajahnya berubah pucat pasi. Dalam hatinya tersimpan kebencian kepada Islam. Begitu aku menyaksikan perubahan itu, aku merasa dilepaskan dari segala kecemasan dan penderitaan. Tadi malam aku tidur dengan nyenyak. Dan kenikmatan serta kesenangan yang kuperoleh tidak lain karena suara adzan yang dikumandangkan muadzin itu."

Orang kafir itu melanjutkan, "Betapa besar rasa terima kasih saya padanya. Bawalah saya kepada muadzin itu. Aku akan memberikan seluruh hadiah ini." Ketika orang kafir itu bertemu dengan si muadzin itu, ia berkata, "Terimalah hadiah ini karena kau telah menjadi pelindung dan juru selamatku. Berkat kebaikan yang telah kau lakukan, kini aku terlepas dari penderitaan. Sekiranya aku memiliki kekayaan dan harta benda yang banyak, akan kuisi mulutmu dengan emas."

Jalaluddin Rumi mengajarkan kepada kita sebuah cerita yang berisi parodi atau sebuah sindiran yang sangat halus. Adzan yang dilantunkan dengan buruk dapat menghalangi orang untuk masuk Islam. Dari cerita di atas kita tahu keberagamaan yang dimaksudkan untuk membawa orang kepada agama berubah menjadi sesuatu yang menghalangi orang untuk memasuki agama.

Dengarlah nasihat Jalaluddin Rumi setelah ia bercerita tentang itu. "Keimanan kamu wahai muslim, hanyalah kemunafikan dan kepalsuan. Seperti ajakan tentang adzan itu, yang alih-alih membawa orang ke jalan yang lurus, malah mencegah orang dari jalan kebenaran. Betapa banyak penyesalan masuk ke dalam hatiku dan betapa banyaknya kekaguman karena iman dan ketulusan Bayazid Al-Bustami." (Bayazid adalah seorang tokoh sufi yang merintis jalan kesucian dan memberikan kepada Tuhan seluruh ketulusan imannya. -red)

Dengan itu sebetulnya Rumi ingin membedakan adanya dua macam keberagamaan atau dua macam kesalehan. Kesalehan yang pertama adalah kesalehan polesan. Orang meletakkan nilai pada segi-segi lahiriah. Orang meletakkan kemuliaan pada pelaksanaan secara harfiah terhadap teks-teks syariat. Seperti orang yang beradzan, ia merasa adzannya betul-betul melaksanakan perintah agama. Karena adzan itu, seperti disebutkan dalam hadis, adalah satu kewajiban yang mulia. Dengan berpegang pada teks-teks itu, maka orang berlomba-lomba untuk melakukan adzan. Tetapi karena yang mereka ambil hanya bungkusnya dan melupakan hakikatnya, yang terjadi adalah kebalikan dari apa yang dimaksudkan. Adzan dimaksudkan untuk memanggil orang untuk shalat tetapi dalam cerita di atas, adzan telah berubah menjadi suatu alat untuk menjauhkan orang dari shalat. Adzan tidak lagi menyeru orang untuk beribadah tapi adzan telah menjauhkan orang dari ibadah kepada Allah swt. Itulah keberagamaan jenis pertama, keberagaman muadzin bersuara buruk. Keberagamaan seseorang yang berpegang teguh kepada teks-teks syariat lalu melupakan maksud yang sebenarnya dari ajaran agama.

Keberagamaan yang kedua, adalah keberagamaan Bayazid Al-Bustami. Keberagamaan ini menekankan pentingnya memelihara lahiriah agama dengan tidak melupakan segi-segi batiniah dan tujuan-tujuan keberagamaan itu. Inilah keimanan yang tulus seperti keimanan Bayazid Al-Bustami. Tentang Bayazid, Rumi menulis puisi:

Setetes saja dari iman Bayazid masuk ke dalam lautan

Seluruh lautan akan tenggelam dalam tetesan iman

Jika sepercik api dari keimanan Bayazid jatuh di tengah hutan

Seluruh hutan akan hilang karena percikan iman

Sebuah bintang muncul dalam diri Muhammad

Sehingga seluruh kepercayaan Majusi dan Yahudi menjadi punah

Jalaluddin Rumi mengingatkan kepada kita bahwa keberagamaan yang tulus, betapa pun kecilnya, mampu mengubah dunia. Dan keberagamaan yang tidak tulus, betapa pun besarnya, tidak berdampak apa-apa kecuali hanya menjauhkan orang dari ajaran Islam yang sebenarnya.

Kita memerlukan Islam yang tampil dengan wajah yang ramah. Keterikatan pada bentuk-bentuk lahiriah yang terlalu setia dengan mengabaikan inti dari ajaran Islam bisa jadi akan menghambat ajakan kita pada orang-orang untuk kembali kepada Islam. Bukankah kita sering menemukan orang-orang yang berdakwah dan memanggil orang kepada Islam, tetapi yang mereka teriakan adalah hal-hal yang membuat orang makin menjauh dari Islam. Orang-orang yang datang untuk mencari ilmu dalam sebuah majlis taklim, disirami mereka dengan kecaman dan ejekan dengan suara-suara keras yang menjauhkan kecintaan mereka kepada agama.

Yang kita perlukan sekarang adalah suatu keberagamaan yang tulus, betapa pun kecilnya. Yang kita perlukan sekarang adalah satu tetes saja dari keimanan Bayazid Al-Bustami. Satu tetes yang tulus yang membawa orang kembali kepada Allah swt.

Marilah kita berusaha untuk mencari rahasia dari setiap ibadah yang kita lakukan. Tulisan ini saya akhiri dengan catatan singkat; keimanan yang sebenarnya adalah keimanan yang dapat menarik semua orang ke haribaan Islam. Apa pun bentuknya.

Seorang sahabat Imam Ali kw bernama Hammam, yang dikenal sebagai seorang ahli ibadah, suatu saat bertanya kepada Imam Ali, "Wahai Amiral Mukminin, gambarkanlah kepadaku sifat-sifat kaum Muttaqin, sehingga aku seolah-olah memandang kepada mereka."

Imam Ali terdiam sejenak. Ia segan memenuhi permintaan Hammam. Tapi setelah itu ia menjawab, "Wahai Hammam, bertakwalah kepada Allah dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa dan berbuat baik."

Mendengar jawaban Imam Ali kw, Hammam belum merasa puas. Ia mendesak sekali lagi sehingga Imam Ali kw memenuhi permintaannya itu. Setelah Imam mengucapkan pujian bagi Allah swt dan shalawat kepada Muhammad saw, ia berkata, "Sesungguhnya ketika Allah swt menciptakan makhluk-Nya, ia menciptakan mereka dalam keadaan tidak butuh akan ketaatan dan tidak cemas akan pembangkangan mereka. Maksiat apa pun yang dilakukan orang, takkan menimbulkan suatu mudharat bagi-Nya. Sebagaimana ketaatan orang kepada-Nya, juga takkan mendatangkan manfaat sedikit pun kepada-Nya. Dialah yang membagikan segala kebutuhan kehidupan mereka. Dia pula lah yang meletakkan masing-masing di antara mereka pada tempat di dunia ini. Maka orang-orang yang bertakwa, merekalah manusia-manusia bijak bestari. Kebenaran merupakan inti ucapan mereka. Kesederhanaan adalah pakaian mereka dan kerendahan hati mengiringi gerak-gerik mereka.

Mereka menundukkan pandangan terhadap segala yang diharamkan oleh Allah. Mereka gunakan pendengaran hanya untuk mendengarkan ilmu yang berguna. Jiwa mereka selalu dipenuhi ketenangan dalam menghadapi cobaan. Sama halnya ketika mereka menerima kenikmatan.

Dan sekiranya bukan kepastian ajal yang telah ditetapkan, niscaya ruh mereka tidak akan tinggal diam dalam jasad-jasad mereka walau hanya sekejap, baik disebabkan kerinduannya kepada pahala Allah atau ketakutannya akan hukuman Allah.

Begitu agungnya Sang Pencipta dalam hati mereka sehingga apa saja selain Dia, menjadi kecil dalam pandangannya. Begitu kuat keyakinan mereka tentang surga sehingga mereka merasakan kenikmatannya dan seolah-oleh telah melihatnya. Dan begitu kuat keyakinan mereka tentang neraka sehingga mereka merasakan azabnya seakan telah menyaksikannya.

Hati mereka selalu dipenuhi kekhusyuan. Tak pernah orang mengkhawatirkan suatu gangguan dari mereka. Tubuh-tubuh mereka kurus kering. Kebutuhan-kebutuhan mereka amat sedikit. Jiwa mereka terjauhkan dari segala yang kurang patut. (Mereka kurus kering karena terlalu seringnya berpuasa dan selalu prihatin karena besarnya tanggung jawab terhadap Allah dan makhluk-Nya.)

Mereka bersabar untuk beberapa saat dan memperoleh kesenangan abadi sebagai pengganti. Itulah perdagangan yang sangat menguntungkan dan Allah memudahkan untuk mereka. dunia menghendaki mereka namun mereka tidak menghendakinya. Ia menjadikan mereka sebagai tawanan, namun mereka berhasil menebus diri dan terlepas dari cengkeramannya.

Di malam hari, mereka merapatkan kaki menghabiskan sepanjang malamnya untuk bersujud kepada-Nya, seraya membaca bagian-bagian Al-Quran dengan memperindah bacaannya. Merawankan hati mereka dengannya seraya membangkitkan penawar bagi segala yang mereka derita. Setiap kali menjumpai ayat pemberi harapan, tertariklah hati mereka mendambakannya, seakan surga telah berada di hadapan mata. Dan bila melewati ayat pembawa ancaman, mereka hadapkan seluruh pendengaran hati kepadanya seakan desir jahanam dan gelegaknya bersemayam dalam dasar telinga mereka. mereka senantiasa membungkukkan punggung, meletakkan dahi dan telapak tangan, merapatkan lutut dan ujung kaki dengan tanah, memohon beriba agar dibebaskan dari murka-Nya.

Adapun di siang hari, merekalah orang-orang yang penuh dengan kemurahan hati. Berilmu, berbakti, dan bertakwa. Ketakutan kepada Allah membuat mereka kurus kering. Setiap orang yang memandang, pasti mengira mereka sedang sakit. Padahal, tiada satu penyakit yang mereka derita. Dikira akalnya tersentuh rasukan setan padahal mereka tersentuh urusan lain yang sangat besar, yakni ketakutan akan kemurkaan Allah dan kedahsyatan hari akhir.

Mereka tak pernah merasa senang dengan amal yang sedikit dan tak pernah puas dengan amal yang banyak. Mereka selalu mencurigai dirinya dan selalu mencemaskan amal pengabdian yang mereka kerjakan. Bila mereka memperoleh pujian, mereka menjadi takut akan apa yang dikatakan orang tentang mereka. Lalu mereka segera berkata, "Kami lebih mengerti akan diri kami sendiri dan Tuhan kami lebih mengerti akan hal itu daripada kami. Ya Allah, jangan kau hukum kami disebabkan oleh apa yang mereka katakan tentang diri kami. Jadikanlah kami lebih baik dari yang mereka dan ampunilah kami dari segala sesuatu yang mereka tak ketahui."

Tanda-tanda yang tampak dari diri mereka adalah keteguhan dalam beragama, ketegasan yang bercampur dengan kelunakan, keyakinan dalam keimanan, kecintaan yang utama kepada ilmu, kepandaian dalam keluhuran hati, kesederhanaan dalam kekayaan, kekhusyuan dalam ibadah, ketabahan dalam kekurangan, kesabaran dalam kesulitan, kesungguhan dalam mencari yang hal, kegesitan dalam kebenaran, dan menjaga diri dari segala sikap tamak.

Mereka mengerjakan amal-amal saleh namun hatinya tetap cemas. Sore hari dipenuhinya dengan syukur. Pagi hari dilewatinya dengan syukur. Semalaman dalam kekhawatiran dan keesokan harinya bergembira, khawatir akan akibat kelalaian dan gembira disebabkan karunia serta rahmat yang diperolehnya. Bila hati seorang dari mereka mengelak dari ketaatan kepada Allah, dan ia merasakan beban yang berat, mereka pun menolak memberi sesuatu yang menjadi keinginannya.

Kepuasan jiwanya terpusat pada sesuatu yang tak akan punah dan penolakannya tertuju pada sesuatu yang akan segera hilang. Baginya yang tak akan punah adalah akhirat dan yang akan segera hilang adalah dunia.

Dicampurkannya kemurahan hati dengan ilmu, disatukannya ucapan dengan perbuatan. Dekat cita-citanya, sedikit kesalahannya, khusyu hatinya, mudah terpuaskan jiwanya, sederhana makanannya, bersahaja urusannya, kukuh agamanya, terkendali nafsunya, bertahan emosinya. Kebaikannya selalu dapat diharapkan, gangguannya tak pernah dikhawatirkan.

Bila bersama orang-orang lalai, ia tak pernah lupa mengingat Tuhannya. Dan bila bersama orang-orang yang mengingat Tuhan, ia tak pernah lalai. Ia selalu berzikir dalam hatinya meskipun ia berada di tengah orang yang lalai atau pun mereka yang mengucapkan zikir meskipun hati mereka lalai.

Mereka memaafkan siapa pun yang menzaliminya, memberi siapa pun yang menolak memberinya, menghubungi siapa pun yang memutuskan hubungan dengannya. Mereka jauh dari perkataan keji, lemah lembut ucapannya, tak pernah terlihat kemungkarannya, dan selalu hadir kebaikannya. Dekat sekali kebaikannya dan jauh sekali keburukannya.

Mereka selalu tenang dalam walaupun dalam bencana yang mengguncang, sabar dalam menghadapi kesulitan, bersyukur dalam kemakmuran, pantang berbuat aniaya, meskipun terhadap mereka yang dibenci. Mereka tak bersedia berbuat dosa walaupun itu demi menyenangkan orang yang dicintainya. (Kecintaan kepada seseorang tak akan mendorongnya untuk berbuat maksiat.)

Mereka segera mengakui yang benar sebelum dihadapkan kepada kesaksian orang lain. Sekali-kali mereka tidak akan melalaikan segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya, atau memanggil seseorang dengan julukan yang tidak disenangi, atau mendatangkan gangguan bagi tetangga, atau pun bergembira dengan bencana yang menimpa lawan. Mereka tidak akan masuk kepada kebatilan dan tidak akan keluar dari kebenaran.

Bila berdiam diri, mereka tidak merasa risau karenanya. Bila tertawa, suara mereka tak terdengar meninggi. Bila terlanggar haknya, ia tetap bersabar, sehingga Allahlah yang membalas baginya. Dirinya kelelahan menghadapi ulahnya sendiri sedangkan manusia lainnya tak pernah terganggu sedikit pun olehnya. Ia melelahkan dirinya sendiri demi akhiratnya dan menyelamatkan manusia sekitarnya dari gangguan dirinya.

Kejauhan dari siapa yang menjauhinya disebabkan oleh zuhud dan kebersihan jiwa. Kedekatannya pada siapa yang didekatinya disebabkan oleh kelembutan hati dan kasih sayangnya. Bukan karena keangkuhan dan pengagungan dirinya dan bukan karena kelicikan dan tipu muslihat…."

Ketika Imam Ali kw sampai di bagian ini, Hammam yang mendengarkan ucapan Imam Ali dengan khusyu tiba-tiba jatuh pingsan sehingga Imam Ali berkata, "Sungguh Demi Allah, sejak pertama aku sudah khawatir, hal ini akan menimpa atasnya." Lalu Imam bertanya, "Beginikah akibat yang ditimbulkan oleh nasihat-nasihat yang mendalam pada hati yang rawan?"

(Disadur dari Kitab Mutiara Nahjul Balaghah)

Alkisah, seorang petani berniat menjual sekarung gandum ke pasar. Ketika karung gandum itu dimuatkan ke punggung untanya, karung itu selalu terjatuh. Setelah berpikir keras, ia mengisi satu karung lagi dengan pasir. Ia merasa bahagia karena telah menemukan pemecahan yang menakjubkan. Dalam keadaan setimbang, kedua karung itu bertengger di punggung untanya. Satu karung berisi gandum dan satu lagi berisi pasir. Di pertengahan jalan, ia berjumpa dengan seseorang yang tampak miskin. Tubuhnya kurus, pakaiannya lusuh, dan tidak bersepatu. Ketika petani itu duduk bersamanya untuk beristirahat, ia mendapati ternyata orang miskin itu sangat bijak. Kawan miskin ini mengetahui banyak hal. Ia mengenal tokoh-tokoh besar, kota-kota besar, dan gagasan-gagasan besar. Tidak henti-hentinya petani itu takjub dengan kepintarannya.

Si fakir menanyakan apa yang dibawa oleh untanya. Petani menjawab, "Aku membawa satu karung berisi gandum dan satu karung berisi pasir." Orang bijak itu tertawa, "Mengapa tidak Anda bagi gandum itu dan menyimpannya dalam dua karung, masing-masing setengahnya. Dengan cara begitu, unta Anda akan berjalan lebih cepat dan Anda tidak membawa barang yang sia-sia." Petani makin kagum. Ia tidak pernah sampai pada pikiran secemerlang itu. Tiba-tiba ia menyadari keadaan si bijak. Petani itu menanyakan apakah ia punya pekerjaan. Ia melihat si bijak yang cerdas itu berpakaian lusuh, tidak bersepatu, dan bertubuh kurus. "Aku tidak punya sepatu, rumah, atau pekerjaan," jawab si bijak, "bahkan untuk makan malam pun, aku tidak tahu apakah aku bisa memperolehnya."

Kekaguman petani berubah menjadi keheranan yang luar biasa. "Lalu apa yang Anda peroleh dari semua pengetahuan dan kecerdasan Anda?" tanya petani. "Saya hanya memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa," jawab si bijak.

Petani itu melepaskan tali untanya. Seraya beranjak pergi, Ia berkata, "Pergilah menjauh dariku! Aku kuatir kemalanganmu berpindah kepadaku. Aku bodoh karena mengisi sekarung gandum dan sekarung pasir untuk penyeimbang. Tapi ketololanku memberikan kehidupan kepadaku."

Cerita ini adalah cerita Jalaluddin Rumi dalam kitab Matsnawi. Kisah ini memberi pelajaran berharga untuk kita. Seperti orang bijak dalam cerita Rumi, kita berusaha mengumpulkan ilmu pengetahuan, tapi pengetahuan kita tidak memberi manfaat dalam kehidupan. Salah satu bencana yang diderita manusia modern adalah mereka mempelajari satu bagian dari ilmu pengetahuan terus menerus sehingga mereka mengetahui banyak hal tentang sesuatu yang sedikit. They know more and more about less and less.

Ada orang yang menghabiskan separuh dari usianya hanya untuk mempelajari cara bagaimana membuat jembatan gigi. Ada juga yang memperoleh gelar doktor hanya karena mengamati satu peristiwa kecil dari seluruh alam semesta ini. Makin lama, pengetahuan yang kita pelajari menyebabkan kita kehilangan pandangan tentang keseluruhan.

Dalam kisah Rumi, orang-orang yang belajar ilmu yang banyak tapi tidak menemukan makna kehidupan, sama seperti si pintar di pinggir jalan. Ia bisa memberikan nasihat kepada petani tentang pemecahan hal yang sepele tapi ia tidak mampu memberikan jawaban atas masalah kehidupan yang dihadapinya.

Banyak orang belajar agama. Mereka menghabiskan waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Tidak jarang mereka terjebak di dalam ilmu-ilmu yang spesifik sehingga ilmunya menyebabkan dia tidak menjadi lebih dekat dengan Allah swt. Ada yang sibuk mempelajari cara-cara shalat dan memberikan perhatian yang amat besar untuk itu sehingga ia menilai orang-orang di sekitarnya dari cara shalat mereka. Padahal agama bukan hanya mengajarkan cara-cara shalat. Agama adalah seluruh kehidupan ini.

Ada juga orang yang tenggelam di dalam keasyikannya mempelajari ilmu tertentu dan dia kehilangan cara untuk menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Dia hidup di dunia impian. Boleh jadi mereka memelihara khayalan-khayalan hampa mereka dalam kesendirian, tapi kemudian mereka dikecewakan oleh kenyataan. Orang-orang seperti itu adalah si bijak dalam cerita Rumi yang terkatung-katung di pinggir jalan, tanpa sepatu dan pekerjaan. Ia memiliki banyak pengetahuan tapi ia kehilangan kebijaksanaan. Ia memiliki knowledge tapi tak memiliki wisdom.

Nabi Muhammad saw bersabda: Ilmu itu ada dua macam. Ada ilmu yang hanya berada pada lidah. Itulah ilmu yang bisa kita pakai untuk berdebat dengan sesama manusia. Ada juga ilmu yang berada pada hati. Dan itulah ilmu yang bermanfaat. Tasawuf ingin membawa Anda pada ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang terbit dari ketulusan hati nurani kita.

Rumi mengakhiri cerita si bijak dengan sebuah puisi indah. Ia memberikan nasihat kepada kita semua:

Jika kau ingin derita benar-benar hilang dari hidupmu

Berjuanglah untuk melepaskan kebijakan dari kepalamu

Kebijakan yang lahir dari tabiat insani

Tak menarik kamu lebih dari khayalan

Karena kebijakan itu tidak mendapat berkat

Yang mengalir dari cahaya kemuliaan Tuhan

Pengetahuanmu tentang dunia

Hanya memberikan dugaan dan keraguan

Pengetahuanmu tentang Dia, kebijakan ruhani sejati

Akan membuatmu naik ke atas dunia ini

Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan semua pengorbanan diri dan kerendahan hati

Mereka sembunyikan hati dalam kecerdikan dan permainan bahasa

Raja sejati adalah dia yang menguasai pikirannya

Bukan dia yang pikirannya menguasai dunia dan dirinya

Seorang ilmuwan sejati adalah seorang yang menerbitkan kebijakan-kebijakan lewat ketulusan hatinya. Nabi saw bersabda: Barang siapa mengikhlaskan hatinya selama empat puluh hari, kebijakan akan memancar dari mulutnya.

Di dalam tasawuf kita belajar bahwa di samping ilmu yang kita peroleh secara empiris atau melalui pengajaran guru-guru kita, ada juga ilmu yang Allah berikan langsung kepada mereka yang memberikan hati mereka sepenuhnya untuk Tuhan. Mereka yang mengosongkan dari hatinya segala apa pun selain Tuhan. Karena itu, di dalam salah satu hadis Nabi saw yang terkenal, Nabi menyebutkan: Di dunia ini ada sekelompok hamba Allah yang menjadi lemari-lemari penyimpan kebijakan Tuhan. Orang-orang itu adalah orang-orang yang mengikhlaskan hati setulus-tulusnya untuk Allah swt. Merekalah yang memperoleh pengetahuan tidak melalui otak-atik otak, tapi melalui pembersihan hati. Ke sanalah kita semua berharap untuk menuju.

Saturday, March 22, 2008

Nasehat Steve Jobs: "Kamu Harus Temukan Apa yang Kamu Sukai","kematian adalah nasehat terbaik","miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda"

Nasehat Steve Jobs: "Kamu Harus Temukan Apa yang Kamu Sukai"

naskah pidato Steve Jobs, CEO Apple Computer dan Studio Animasi Pixar, di acara pelepasan mahasiswa Stanford, 12 Juni 2005.

Kisahnya dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung saya adalah mahasiswi belia yang hamil karena "kecelakaan" dan memberikan saya kepada seseorang untuk diadopsi. Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, maka saya pun diperjanjikan untuk dipungut anak semenjak lahir oleh seorang pengacara dan istrinya. Sialnya, begitu saya lahir, tiba-tiba mereka berubah pikiran karena ingin bayi perempuan. Maka orang tua saya sekarang, yang ada di daftar urut berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: "kami punya bayi laki-laki yang batal dipungut; apakah Anda berminat? Mereka menjawab: "Tentu saja." Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu angkat saya tidak pernah lulus kuliah dan ayah angkat saya bahkan tidak tamat SMA. Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa bulan kemudian, setelah orang tua saya berjanji akan menyekolahkan saya sampai perguruan tinggi.

Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah. Namun, dengan naifnya saya memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga seluruh tabungan orang tua saya– yang hanya pegawai rendahan–habis untuk biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya tidak melihat manfaatnya. Saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana kuliah akan membantu saya menemukannya. Saya sudah menghabiskan seluruh tabungan yang dikumpulkan orang tua saya seumur hidup mereka. Maka, saya pun memutuskan berhenti kuliah, yakin bahwa itu yang terbaik. Saat itu rasanya menakutkan, namun sekarang saya menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang pernah saya ambil.

Begitu DO, saya langsung berhenti mengambil kelas wajib yang tidak saya minati dan mulai mengikuti perkuliahan yang saya sukai.

Masa-masa itu tidak selalu menyenangkan. Saya tidak punya kamar kos sehingga menumpang tidur di lantai kamar teman-teman saya. Saya mengembalikan botol Coca-Cola agar dapat pengembalian 5 sen untuk membeli makanan. Saya berjalan 7 mil melintasi kota setiap Minggu malam untuk mendapat makanan enak di biara Hare Krishna. Saya menikmatinya. Dan banyak yang saya temui saat itu karena mengikuti rasa ingin tahu dan intuisi, ternyata kemudian sangat berharga. Saya beri Anda satu contoh:

Reed College mungkin waktu itu adalah yang terbaik di AS dalam hal kaligrafi. Di seluruh penjuru kampus, setiap poster, label, dan petunjuk ditulis tangan dengan sangat indahnya. Karena sudah DO, saya
tidak harus mengikuti perkuliahan normal. Saya memutuskan mengikuti kelas kaligrafi guna mempelajarinya. Saya belajar jenis-jenis huruf serif dan san serif, membuat variasi spasi antar kombinasi kata dan
kiat membuat tipografi yang hebat. Semua itu merupakan kombinasi cita rasa keindahan, sejarah dan seni yang tidak dapat ditangkap melalui sains. Sangat menakjubkan.

Saat itu sama sekali tidak terlihat manfaat kaligrafi bagi kehidupan saya. Namun sepuluh tahun kemudian, ketika kami mendisain komputer Macintosh yang pertama, ilmu itu sangat bermanfaat. Mac adalah
komputer pertama yang bertipografi cantik. Seandainya saya tidak DO dan mengambil kelas kaligrafi, Mac tidak akan memiliki sedemikian banyak huruf yang beragam bentuk dan proporsinya. Dan karena Windows menjiplak Mac, maka tidak ada PC yang seperti itu. Andaikata saya tidak DO, saya tidak berkesempatan mengambil kelas kaligrafi, dan PC tidak memiliki tipografi yang indah. Tentu saja, tidak mungkin merangkai cerita seperti itu sewaktu saya masih kuliah. Namun, sepuluh tahun kemudian segala sesuatunya menjadi gamblang.

Sekali lagi, Anda tidak akan dapat merangkai titik dengan melihat ke depan; Anda hanya bisa melakukannya dengan merenung ke belakang. Jadi, Anda harus percaya bahwa titik-titik Anda bagaimana pun akan terangkai di masa mendatang. Anda harus percaya dengan intuisi, takdir, jalan hidup, karma Anda, atau apapun istilah lainnya. Pendekatan ini efektif dan membuat banyak perbedaan dalam kehidupan saya.

Cerita Kedua Saya: Cinta dan Kehilangan.

Saya beruntung karena tahu apa yang saya sukai sejak masih muda. Woz dan saya mengawali Apple di garasi orang tua saya ketika saya berumur 20 tahun. Kami bekerja keras dan dalam 10 tahun Apple berkembang dari hanya kami berdua menjadi perusahaan 2 milyar dolar dengan 4000 karyawan. Kami baru meluncurkan produk terbaik kami–Macintosh– satu tahun sebelumnya, dan saya baru menginjak usia 30. Dan saya dipecat. Bagaimana mungkin Anda dipecat oleh perusahaan yang Anda dirikan? Yah, itulah yang terjadi. Seiring pertumbuhan Apple, kami merekrut orang yang saya pikir sangat berkompeten untuk menjalankan perusahaan bersama saya. Dalam satu tahun pertama,semua berjalan lancar. Namun, kemudian muncul perbedaan dalam visi kami mengenai masa depan dan kami
sulit disatukan. Komisaris ternyata berpihak padanya. Demikianlah, di usia 30 saya tertendang. Beritanya ada di mana-mana. Apa yang menjadi fokus sepanjang masa dewasa saya, tiba-tiba sirna. Sungguh menyakitkan.

Dalam beberapa bulan kemudian, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Saya merasa telah mengecewakan banyak wirausahawan generasi sebelumnya –saya gagal mengambil kesempatan. Saya bertemu dengan David Packard dan Bob Noyce dan meminta maaf atas keterpurukan saya. Saya menjadi tokoh publik yang gagal, dan bahkan berpikir untuk lari dari Silicon Valley. Namun, sedikit demi sedikit semangat timbul kembali–saya masih menyukai pekerjaan saya. Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tidak mengubah saya. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Maka, saya putuskan untuk mulai lagi dari awal.

Waktu itu saya tidak melihatnya, namun belakangan baru saya sadari bahwa dipecat dari Apple adalah kejadian terbaik yang menimpa saya. Beban berat sebagai orang sukses tergantikan oleh keleluasaan sebagai pemula, segala sesuatunya lebih tidak jelas. Hal itu mengantarkan saya pada periode paling kreatif dalam hidup saya.

Dalam lima tahun berikutnya, saya mendirikan perusahaan bernama NeXT, lalu Pixar, dan jatuh cinta dengan wanita istimewa yang kemudian menjadi istri saya. Pixar bertumbuh menjadi perusahaan yang
menciptakan film animasi komputer pertama, Toy Story, dan sekarang merupakan studio animasi paling sukses di dunia. Melalui rangkaian peristiwa yang menakjubkan, Apple membeli NeXT, dan saya kembali lagi ke Apple, dan teknologi yang kami kembangkan di NeXT menjadi jantung bagi kebangkitan kembali Apple. Dan, Laurene dan saya memiliki keluarga yang luar biasa.

Saya yakin takdir di atas tidak terjadi bila saya tidak dipecat dari Apple. Obatnya memang pahit, namun sebagai pasien saya memerlukannya. Kadangkala kehidupan menimpakan batu ke kepala Anda. Jangan kehilangan kepercayaan. Saya yakin bahwa satu-satunya yang membuat saya terus berusaha adalah karena saya menyukai apa yang saya lakukan. Anda harus menemukan apa yang Anda sukai. Itu berlaku baik untuk pekerjaan maupun pasangan hidup Anda. Pekerjaan Anda akan menghabiskan sebagian besar hidup Anda, dan kepuasan sejati hanya dapat diraih dengan mengerjakan
sesuatu yang hebat. Dan Anda hanya bisa hebat bila mengerjakan apa yang Anda sukai. Bila Anda belum menemukannya, teruslah mencari.Jangan menyerah. Hati Anda akan mengatakan bila Anda telah
menemukannya. Sebagaimana halnya dengan hubungan hebat lainnya, semakin lama- semakin mesra Anda dengannya. Jadi, teruslah mencari sampai ketemu. Jangan berhenti.

Cerita Ketiga Saya: Kematian

Ketika saya berumur 17, saya membaca ungkapan yang kurang lebih berbunyi: "Bila kamu menjalani hidup seolah-olah hari itu adalah hari terakhirmu, maka suatu hari kamu akan benar." Ungkapan itu membekas dalam diri saya, dan semenjak saat itu, selama 33 tahun terakhir, saya selalu melihat ke cermin setiap pagi dan bertanya kepada diri sendiri: "Bila ini adalah hari terakhir saya, apakah saya tetap melakukan apa yang akan saya lakukan hari ini?" Bila jawabannya selalu "tidak" dalam beberapa hari berturut-turut, saya tahu saya harus berubah.

Mengingat bahwa saya akan segera mati adalah kiat penting yang saya temukan untuk membantu membuat keputusan besar. Karena hampir segala sesuatu–semua harapan eksternal, kebanggaan, takut, malu atau gagal–tidak lagi bermanfaat saat menghadapi kematian. Hanya yang hakiki yang tetap ada. Mengingat kematian adalah cara terbaik yang saya tahu untuk menghindari jebakan berpikir bahwa Anda akan kehilangan sesuatu. Anda tidak memiliki apa-apa. Sama sekali tidak ada alasan untuk tidak mengikuti kata hati Anda.

Sekitar setahun yang lalu saya didiagnosis mengidap kanker. Saya menjalani scan pukul 7:30 pagi dan hasilnya jelas menunjukkan saya memiliki tumor pankreas. Saya bahkan tidak tahu apa itu pankreas. Para dokter mengatakan kepada saya bahwa hampir pasti jenisnya adalah yang tidak dapat diobati. Harapan hidup saya tidak lebih dari 3-6 bulan. Dokter menyarankan saya pulang ke rumah dan membereskan segala sesuatunya, yang merupakan sinyal dokter agar saya bersiap mati. Artinya, Anda harus menyampaikan kepada anak Anda dalam beberapa menit segala hal yang Anda rencanakan dalam sepuluh tahun mendatang. Artinya, memastikan bahwa segalanya diatur agar mudah bagi keluarga Anda. Artinya, Anda harus mengucapkan selamat tinggal.

Sepanjang hari itu saya menjalani hidup berdasarkan diagnosis tersebut. Malam harinya, mereka memasukkan endoskopi ke tenggorokan, lalu ke perut dan lambung, memasukkan jarum ke pankreas saya dan mengambil beberapa sel tumor. Saya dibius, namun istri saya, yang ada di sana, mengatakan bahwa ketika melihat selnya di bawah mikroskop, para dokter menangis mengetahui bahwa jenisnya adalah kanker pankreas yang sangat jarang, namun bisa diatasi dengan operasi. Saya dioperasi dan sehat sampai sekarang.

Itu adalah rekor terdekat saya dengan kematian dan berharap terus begitu hingga beberapa dekade lagi. Setelah melalui pengalaman tersebut, sekarang saya bisa katakan dengan yakin kepada Anda bahwa
menurut konsep pikiran, kematian adalah hal yang berguna: Tidak ada orang yang ingin mati. Bahkan orang yang ingin masuk surga pun tidak ingin mati dulu untuk mencapainya. Namun, kematian pasti
menghampiri kita. Tidak ada yang bisa mengelak. Dan, memang harus demikian, karena kematian adalah buah terbaik dari kehidupan. Kematian membuat hidup berputar. Dengannya maka yang tua menyingkir untuk digantikan yang muda. Maaf bila terlalu dramatis menyampaikannya, namun memang begitu.

Waktu Anda terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain. Jangan terperangkap dengan dogma–yaitu hidup bersandar pada hasil pemikiran orang lain. Jangan biarkan omongan orang
menulikan Anda sehingga tidak mendengar kata hati Anda. Dan yang terpenting, miliki keberanian untuk mengikuti kata hati dan intuisi Anda, maka Anda pun akan sampai pada apa yang Anda inginkan. Semua hal lainnya hanya nomor dua.

Ketika saya masih muda, ada satu penerbitan hebat yang bernama "The Whole Earth Catalog", yang menjadi salah satu buku pintar generasi saya. Buku itu diciptakan oleh seorang bernama Stewart Brand yang tinggal tidak jauh dari sini di Menlo Park, dan dia membuatnya sedemikian menarik dengan sentuhan puitisnya. Waktu itu akhir 1960-an, sebelum era komputer dan desktop publishing, jadi semuanya dibuat dengan mesin tik, gunting, dan kamera polaroid. Mungkin seperti Google dalam bentuk kertas, 35 tahun sebelum kelahiran Google: isinya padat dengan tips-tips ideal dan ungkapan-ungkapan hebat.

Stewart dan timnya sempat menerbitkan beberapa edisi "The Whole Earth Catalog", dan ketika mencapai titik ajalnya, mereka membuat edisi terakhir. Saat itu pertengahan 1970-an dan saya masih seusia Anda. Di sampul belakang edisi terakhir itu ada satu foto jalan pedesaan di pagi hari, jenis yang mungkin Anda lalui jika suka bertualang. Di bawahnya ada kata-kata: "Stay Hungry. Stay Foolish." (Tetaplah Lapar. Selalu Merasa Bodoh). Itulah pesan perpisahan yang dibubuhi tanda tangan mereka. Stay Hungry. Stay Foolish. Saya selalu mengharapkan diri saya begitu. Dan sekarang, karena Anda akan lulus
untuk memulai kehidupan baru, saya harapkan Anda juga begitu.

Stay Hungry. Stay Foolish.

Terima kasih semuanya.

Monday, March 10, 2008

Inginkah kita diberikan sebuah rumah di surga?

Assalamualaikum w.w.

Setiap insan perlu tempat perlindungan, perlu tempat berdiam, beristirahat, tempat bercengkrama bersama keluarga, dan berbagai aktivitas lainnya. Semua keperluan itu dapat terpenuhi jika ia memiliki sebuah rumah. Ya, setiap orang mendambakan untuk memiliki rumah. Saya yakin, kita juga semuanya bersusah payah bekerja dan berpikir keras, salah satu cita-cita kita adalah untuk dapat memiliki sebuah rumah yang sesuai dengan keinginan kita. Ada yang sudah mendapat rumah, namun banyak sekali kekurangannya sehingga tidak puas dengan rumah yang telah didapatkannya.

Namun rumah apapun yang kita dambakan di dunia, tentu tidak akan bisa dibandingkan dengan rumah yang ada di surga, bukan? semewah apapun itu, seindah apapun itu, selama itu letaknya di dunia, ia takkan bisa menandingi rumah yang disediakan Allah untuk hamba-Nya yang dijanjikan untuk masuk ke surga.
Yang luar biasa lagi, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah SAW, rumah di surga itu tidak pernah dilihat oleh mata, tak pernah terdengar oleh telinga dan tak pernah terbersit keindahannya dalam hati manusia. Pasti itu adalah rumah yang luar biasa indahnya, dan luar biasa mewahnya.

Jadi, daripada kita sibuk berpikir untuk memiliki rumah impian di dunia ini, kenapa tidak kita alihkan saja sebagian waktu kita tersebut untuk menyiapkan sebuah rumah, yang jelas sudah dijanjikan oleh Allah SWT.  Uniknya lagi, semua hal itu dapat diperoleh hanya dengan membutuhkan waktu kurang lebih 60 menit atau 1 jam saja setiap harinya. Ya, hanya 1 jam dari jatah 24 jam per hari dalam hidup kita. Tidak perlu uang, tidak perlu jaminan harta, dan bahkan tidak perlu bekerja keras. Mau tau kuncinya? Atau mungkin sudah banyak yang tau jawabannya? :-)

Anda benar, jawabannya ialah melakukan 12 rakaat sunnah rawatib. Yakni, 2 rakaat sebelum subuh, 4 rakaat sebelum zuhur, 2 rakaat bada zuhur, 2 rakaat setelah maghrib, dan 2 rakaat setelah isya. Manfaat yang didapat: Allah akan membangunkan sebuah rumah di surga bagi orang yang senantiasa melakukannya.
Dalil : Rasulullah saw bersabda,
"Barangsiapa yang solat dalam satu hari sebanyak 12 rakaat, sunnah, Allah akan bangunkan baginya rumah di surga. (HR Muslim)

Subhanallah, Maha Suci Allah, sungguh tidak sulit untuk mendapatkannya saudaraku. :-)

Saya menulis ini untuk memotivasi diri saya sendiri, dan mudah-mudahan juga bisa menggugah saudaraku sekalian untuk melakukannya.
(Wa maa nashohtu illaa nushii, in uriidu illa al-islaah)

Wallahu a'lam bis shawab.

Wass.w.w.
Abu Shahia