Friday, March 27, 2009

Nafsu Ingin Menjadi Pemimpin

Dr. Daud Rasyid
“Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung. (Riwayat Imam Bukhori).

Perbedaan zaman Salafus-sholeh yang paling kentara dengan zaman sekarang, salah satunya dalam ambisi kepemimpinan. Dulu, khususnya zaman sahabat, mereka saling bertolak-tolakan untuk menjadi pemimpin.

Abu Bakar Shiddiq diriwayatkan, sebelum diminta menjadi Khalifah menggantikan Rasulullah mengusulkan agar Umar yang menjadi Khalifah. Alasan beliau karena Umar adalah seorang yang kuat.

Tetapi Umar menolak, dengan mengatakan, kekuatanku akan berfungsi dengan keutamaan yang ada padamu. Lalu Umar membai’ah Abu Bakar dan diikuti oleh sahabat-sahabat lain dari Muhajirin dan Anshor.

Dari dialog ini dapat kita pahami bahwa generasi awal Islam, yang terbaik itu, memandang jabatan seperti momok yang menakutkan. Mereka berusaha untuk menghindarinya selama masih mungkin. Tapi di zaman ini, keadaannya sudah berubah jauh.

Orang saling berlomba untuk menjadi pemimpin. Jabatan sudah menjadi tujuan hidup orang banyak. Semua tokoh yang sedang bertarung mengatakan, jika diminta oleh rakyat, saya siap maju. Inilah basa basi mereka. Entah rakyat mana yang meminta dia maju jadi pemimpin. Sebuah kedustaan yang dipakai untuk menutupi ambisi menjadi pemimpin.

Keberatan para Sahabat dulu untuk menjadi pemimpin, dikarenakan mereka mengetahui konsekuensi dan resiko menjadi pemimpin. Mereka mendengar hadits-hadits Nabi Saw tentang tanggung jawab pemimpin di dunia dan di akhirat. "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Imam (kepala negara) adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya atas kepemimpinannya...".

Dalam hadits yang lain Nabi Muhammad Saw memprediksi hiruk pikuk di akhir zaman soal kekuasaan dan menjelaskan hakikat dari kekuasaan itu. Beliau bersabda seperti dilaporkan oleh Abu Hurairah :

“Kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu adalah penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung. (Riwayat Imam Bukhori).

Juga Rasulullah Saw memperingatkan mereka yang sedang berkuasa yang lari dari tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat dan tidak bekerja untuk kepentingan rakyatnya, dengan sabda beliau : “Siapa yang diberikan Allah kekuasaan mengurus urusan kaum Muslimin, kemudian ia tidak melayani mereka dan keperluan mereka, maka Allah tidak akan memenuhi kebutuhannya.” (Riwayat Abu Daud).

Dan dalam riwayat at-Tirmizi disebutkan : “Tidak ada seorang pemimpin yang menutup pintunya dari orang-orang yang memerlukannya dan orang fakir miskin, melainkan Allah juga akan menutup pintu langit dari kebutuhannya dan kemiskinannya.”

Hadits-hadits yang ada lebih banyak menggambarkan pahitnya menjadi pemimpin ketimbang manisnya. Sedang mereka adalah generasi yang lebih mengutamakan kesenangan ukhrowi daripada kenikmatan duniawi. Itulah yang dapat ditangkap dari keberatan mereka.

Sementara orang yang hidup di zaman ini berfikir terbalik. Yang mereka kejar adalah kesenangan duniawi yang didapat melalui jabatan dan kekuasaan. Mereka lupa dengan pertanggung jawaban di hari Kiamat itu. Mereka tidak segan-segan bermanuver dan merekayasa untuk mendapatkan jabatan dan kekuasaan itu.

Kadangkala cara yang dipakai sudah hampir sama dengan cara kaum kuffar atau kaum sekuler, menghancurkan nilai-nilai akhlak Islam yang sangat fundamental; mencari dan mengumpulkan kelemahan lawan politik dan pada waktunya aib-aib itu dibeberkan untuk mengganjal jalan kompetitornya.

Ada pula yang mengumpulkan dana dengan cara-cara yang tak pantas dan tak bermoral. Mendukung calon kepala daerah dalam pilkada dari partai mana saja, asal dengan imbalan materi dengan menyerahkan uang yang besar. Terserah orang itu menang atau kalah nanti, tak begitu penting, yang penting uangnya sudah didapat.

Para pemburu kekuasaan itu beralasan, jika kepemimpinan itu tidak direbut, maka ia akan dipegang oleh orang-orang Fasik dan tangan tak Amanah, yang akan menyebarkan kemungkaran dan maksiat. Tapi jika ia dipegang oleh orang soleh dan beriman, akan dapat mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat luas. Alasan ini memang indah kedengaran.

Namun kenyataannya, semua yang berebut jabatan mengklaim bahwa ia lebih baik dari yang sedang memimpin. Dan tidak ada yang dapat memberi jaminan bahwa jika ia memimpin, keadaan akan menjadi lebih baik.

Bahkan rata-rata orang pandai berteriak sebelum menjadi pemimpin, tetapi setelah masuk ke dalam sistem, mereka tak bisa berbuat banyak. Akhirnya mengikuti gaya orang sekuler. Yang mencoba bertahan dengan idealisme, mendapat serangan dan kecaman dari berbagai pihak, lalu akhirnya menyerah kepada keadaan.

Berapa banyak mantan aktifis mahasiswa yang sebelumnya kritis dan berdemo menentang rezim masa lalu, tetapi sesudah masuk ke dalam sistem, tidak bisa merubah apa-apa, bahkan menggunakan cara-cara yang dipakai oleh rezim sebelumnya, memanfaatkan jabatan untuk menimbun uang dan kekayaan.

Kemudian merekapun menyiapkan alasan-alasan pembelaan; antara lain, merubah sesuatu tak bisa sekejap mata, tetapi harus bertahap, menilai sesuatu tak boleh hitam-putih, apa yang ada sekarang sudah lebih baik dari masa sebelumnya.

Keadaan seperti ini semakin memperkuat keyakinan sebagian orang, bahwa memperbaiki sistem tidak harus masuk terjun ke dalam sistem itu. Bahkan tak mungkin melakukan perubahan selama kita ada di dalam. Sebuah logika terbalik dari slogan yang digembar gemborkan pihak lain, yang kalau mau merubah sistem, harus terjun ke dalam sistem itu. Ternyata kebanyakan yang pernah terjun ke dalam sistem, tidak mampu merubah kerusakan yang ada. Bukan sekedar tak mampu membersihkan, justru ikut terkena kotoran.

Memang ada sebagian yang masuk ke dalam sistem dengan cara yang sah, lalu berjuang di dalamnya dengan penuh resiko, mencoba melakukan perubahan dan bertahan dengan prinsip-prinsip yang dipegangnya. Mereka ini biasanya kalau tak tersingkir, dimusuhi atau makan hati.

Gerakan Islam sebenarnya lebih besar dari sekadar Partai Politik yang dibatasi oleh aturan-aturan formal, aturan main, dan bahkan ideologi kebangsaan. Gerakan Islam berjuang untuk jangka waktu yang tak terbatas, hingga Islam itu tegak berdiri dengan kokoh. Lingkup kerjanya juga tidak hanya menyangkut soal-soal politik.

Ketika gerakan Islam menjadi partai politik, sebenarnya ia sedang dipasung dan dihadapkan pada agenda kacangan yang didiktekan kepadanya yang bukan menjadi agenda utamanya. Bahkan kesibukannya mengurusi soal-soal politik hanyalah pembelokan dari target utama dan juga pemborosan energi yang tak setimpal dengan hasil yang dicapainya. Ibarat membayar dengan harga emas untuk membeli besi.

Betapa sayangnya seorang yang sudah tiga puluh tahun malang melintang dalam gerakan Islam, ujung-ujungnya hanya menjadi tukang lobi kesana-kemari untuk memperjuangkan kursi alias kekuasaan. Sungguh menyedihkan. Yang diperjuangkan oleh gerakan Islam adalah sebuah agenda besar yang mendunia (Ustaziyyatul ‘Alam), bukan agenda lokal dan sektor sempit dan terbatas.

Lalu di sini mungkin pertanyaan akan muncul, apakah urusan lokal yang berujung pada kemaslahtan ummat Islam itu diabaikan? Jawabannya jelas tidak. Akan tetapi biarlah masalah-masalah lokal dan sektoral itu diurusi oleh anak-anak ummat yang mempunyai kualitas lokal.

Adapun gerakan Islam yang sudah mendunia haruslah bekerja sesuai dengan kapasitasnya. Tak pantas pemuda-pemuda gerakan diminta mengurus pilkada, pemilu, menempel-nempel poster, apalagi bertarung dengan orang-orang yang tak sekapasitas dengannya.

Gerakan Islam sekali lagi harusnya mengurusi hal-hal yang lebih besar, lebih strategis, yakni pembinaan ummat, membangun generasi intelek dan beriman, mengarahkan pemikiran ummat kepada cara berpikir yang Islami setelah mengalami degradasi. Anak-anak gerakan yang tak naik kelas bolehlah dipersilahkan terjun ke dunia politik praktis. Karena sampai di situlah mungkin batas kemampuannya.

Ada hikmahnya kenapa Allah swt tidak mengizinkan gerakan Islam di negeri induknya berkecimpung dalam politik praktis secara besar-besaran. Karena hal itu akan membuat mereka lalai dari perjuangan utama. Target utamanya bukan untuk mendapat kursi Perdana Menteri, atau bahkan Presiden sekalipun, tetapi untuk menjadi qiyadah fikriyah bagi pergerakan Islam sedunia.

Andaikan peluang lokal itu terbuka, niscaya mereka akan sibuk dengan masalah-masalah parsial di lapangan sementara tugas mereka jauh lebih kompleks dari membenahi sebuah negara yang masyarakatnya sudah rusak secara ideologis, moral dan perasaan.

Tugas Gerakan Islam lebih besar dari membersihkan korupsi, ketimpangan ekonomi, ketidak merataan pembangunan. Tugas mereka adalah mengembalikan penyembahan kepada Allah setelah mengalami degradasi dengan menuhankan manusia dan Tuhan-tuhan lainnya. (Ikhrojun Naas min Ibadatil Ibad ilaa Ibadatil Robbil Ibaad).


Thursday, March 26, 2009

استغفر الله العظيم من كل ذنب أذنبته
استغفر الله العظيم من كل فرض تركته
استغفر الله العظيم من كل إنسان ظلمته
استغفر الله العظيم من كل صالح جفوته
استغفر الله العظيم من كل ظالم صاحبته
استغفر الله العظيم من كل بر أجلته
استغفر الله العظيم من كل ناصح أهنته
استغفر الله العظيم من كل محمود سئمته
استغفر الله العظيم من كل زور نطقت به
استغفر الله العظيم من كل حق أضعته
استغفر الله العظيم من كل باطل اتبعته
استغفر الله العظيم من كل وقت أهدرته
استغفر الله العظيم من كل ضمير قتلته
استغفر الله العظيم من كل سر أفشيته
استغفر الله العظيم من كل أمين خدعته
استغفر الله العظيم من كل وعد أخلفته
استغفر الله العظيم من كل عهد خنته
استغفر الله العظيم من كل امرئ خذلته
استغفر الله العظيم من كل صواب كتمته
استغفر الله العظيم من كل خطأ تفوهت به
استغفر الله العظيم من كل عرض هتكته
استغفر الله العظيم من كل ستر فضحته
استغفر الله العظيم من كل لغو سمعته
استغفر الله العظيم من كل حرام نظرته
استغفر الله العظيم من كل إثم فعلته
استغفر الله العظيم من كل نصح خالفته
استغفر الله العظيم من كل علم نسيته
استغفر الله العظيم من كل شك أطعته
استغفر الله العظيم من كل ظن لازمته
استغفر الله العظيم من كل ضلال عرفته
استغفر الله العظيم من كل دين أهملته
استغفر الله العظيم من كل ذنب ارتكبته
استغفر الله العظيم من كل ما وعدتك به ثم عدت فيه من نفسي ولم أوفى به
استغفر الله العظيم من كل عمل أردت به وجهك فخالطني به غير
استغفر الله العظيم من كل نعمة أنعمت على بها فاستعنت بها على معصيتك
استغفر الله العظيم من كل ذنب أذنبته في ضياء النهار أو سواد الليل
في ملأ أو خلا أو سراً أو علانية
استغفر الله العظيم من كل مال بغير حق اكتسبته
استغفر الله العظيم من كل علم سُـئـلـت عنه فكتمته
استغفر الله العظيم من كل قول لم أعمل به و خالفته
استغفر الله العظيم من كل فرض خالفته ومن كل بدعه اتبعتها
اللهم أني سامحت كل من أخطأ في حقي فأغفر لي أنه لا يغفر الذنوب إلا أنت
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليماً كثيرا

Monday, March 23, 2009

Cerita dibawah ini di copy/paste dr salah satu milis. Membacanya membuat air mata ini berlinang. Semoga bisa jadi motivator kita untuk berbuat.
-----------------------
Nggak ah, ntar Om Marah

Bila ada ajakan untuk berbagi, apa yang ada di pikiran Anda? Mungkin berbagi dana, berbagi pakaian layak pakai, sembako, susu, atau berbagi makanan. Ya, semua
jawaban biasanya dalam bentuk materi. Itu mungkin karena di kepala kita telah tertancap ide-ide materialistik yang sudah mengglobal. Mengukur segala sesuatunya dengan ukuran yang bersifat material dan kasat mata. Pengalaman nyata dari ayah angkat saya mungkin bisa menjadi pelajaran bahwa berbagi tidaklah mesti berbentuk materi.

Setiap tahun, ayah angkat saya punya kebiasan berkeliling ke berbagai panti asuhan dan rumah anak yatim. Kunjungan biasanya dilakukan dua kali. Awal bulan Ramadhan dan akhir bulan Ramadhan. Kunjungan pertama adalah survei untuk mengetahui kebutuhan panti asuhan atau rumah yatim. Kunjungan kedua membawa bantuan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.

Ketika berkunjung ke salah satu rumah yatim, ayah angkat saya bertemu dengan seorang bocah manis dan lucu. Dia masih sekolah kelas nol besar. ”Siapa namamu nak?” sapa ayah saya. ”Nama saya Nina Om”, jawabnya manja. ”Nina sudah punya sepatu baru?” tanya ayah saya. ”Sudah om, dikasih Abah (pemimpin panti-red). Nina juga sudah punya baju baru” urai Nina.

“Kalau begitu Nina mau apa?” tanya ayah saya. “Nggak ah… ntar Om marah” jawab Nina. “Nggak sayang, Om nggak akan marah,” ayah saya menimpali. ”Nggak ah… ntar Om marah” Nina mengulang jawabannya. Ayah saya berpikir, pasti yang diminta Nina adalah sesuatu yang mahal. Rasa keingintahuan ayah saya semakin menjadi. Maka dia dekati lagi Nina.

”Ayo Nak katakan apa yang kamu minta sayang”, pinta ayah saya. ”Tapi janji ya Om tidak marah?” jawab Nina manja. ”Om janji tidak akan marah sayang,” tegas ayah saya. ”Bener Om nggak akan marah?” sahut Nina agak ragu. Ayah saya menganggukkan kepala.

Nina menatap tajam wajah ayah saya. Sementara ayah saya berpikir, ‘Seberapa mahal sich yang bocah kecil ini minta sampai dia harus meyakinkan bahwa saya tidak akan marah’. Sambil tersenyum Ayah mengatakan “ayo Nak, katakan, jangan takut, Om tidak akan marah Nak.””Bener ya Om nggak marah?,” ujar Nina sambil terus menatap wajah ayah saya. Sekali lagi ayah saya menganggukkan kepala.

Dengan wajah berharap-harap cemas, Nina mengajukan permintaanya ”Mmmm, boleh gak mulai malam ini saya memanggil Om..dengan paggilan Ayah?. Nina sedih gak punya ayah”

Mendengar jawaban itu, Ayah saya tak kuasa membendung air matanya. Segera dia peluk Nina, ”tentu Anakku.. tentu Anakku…mulai hari ini Nina boleh memanggil Ayah, bukan Om”. Sambil memeluk erat ayah saya, dengan terisak Nina berkata ”terima kasih ayah… terima kasih ayah..”.

Hari itu, adalah hari yang takkan terlupakan buat ayah saya. Dia habiskan waktu beberapa saat untuk bermain dan bercengkrama dengan Nina. Karena merasa belum memberikan sesuatu berbentuk material kepada Nina maka sebelum pulang Ayah bertanya lagi pada Nina, ”anakku, sebelum lebaran nanti ayah akan datang lagi kemari bersama ibu dan kakak-kakakmu, apa yang kamu minta nak?” ”Kan udah tadi, Nina sudah boleh memanggil Ayah,” jawab Nina.

”Nina masih boleh minta lagi sama ayah. Nina boleh minta sepeda, otoped atau yang lain, pasti akan Ayah kasih.” jelas Ayah saya.

”Nanti kalau ayah datang sama ibu ke sini, aku minta Ayah bawa foto bareng yang ada Ayah, Ibu dan kakak-kakak NIna, boleh kan Ayah?” Nina memohon sambil memegang tangan Ayah.

Tiba-tiba kaki Ayah lunglai. Dia berlutut di depan Nina. Dia peluk lagi Nina sambil bertanya, ”buat apa foto itu Nak?”

“Nina ingin tunjukkan sama temen-temen Nina di sekolah, ini foto ayah Nina, ini ibu Nina, ini kakak-kakak Nina.” Ayah saya memeluk Nina semakin erat, seolah tak mau berpisah dengan gadis kecil yang menjadi guru kehidupannya di hari itu.

Terima kasih Nina. Meski usiamu masih belia kau telah mengajarkan kepada kami tentang makna berbagi cinta. Berbagilah cinta, karena itu lebih bermakna dibandingkan dengan sesuatu yang kasat mata. Berbagilah cinta, maka kehidupan kita akan lebih bermakna. Berbagilah cinta agar orang lain merasakan keberadaan kita di dunia.



(Cerita ini saya kutip dari buku kedua saya: Menyemai Impian Meraih SuksesMulia, terbitan Gramedia. Merupakan pengalaman nyata orang tua angkat saya. Salam SuksesMulia. Jamil Azzaini)
Belajar Ikhlas dalam Sedekah

Ini pendapat Joe Vitale, penulis Spiritual Marketing. Juga pendapat banyak penulis lain yang dari pengalamannya mendapati bahwa semakin dia rela memberi (bersedekah) semakin banyak apa yang dia sumbangan itu kembali kepada dirinya dengan berlipat-lipat. Kalu dia nyumbang uang, maka (biasanya) akan datang uang. Kalau tenaga, maka akan kembali banyak bantuan. Kalau ilmu, maka akan kembali lebih banyak ilmu. Mereka menemukan bahwa "to give in order to get" adalah suatu hukum universal.

Sebentar, masih menurut orang-orang tersebut, hanya sedekah yang tulus lah yang akan menggetarkan semesta. Jadi tidak semua pemberian akan memberikan efek pengembalian yang diharapkan. Tentu saja ini bukan sok merasa lebih tahu tentang cara yang disukai Tuhan, ini adalah berbagi pengalaman apa yang mereka rasakan. Kisah-kisah mereka dikumpulkan dalam e-book "The Greatest Money-Making Secret in History!". Silahkan di download sendiri ya. http://www.plainwor ds.co.nz/greatestmms. pdf
Berikut ini cara bersedekah (menyumbang) yang mereka rasakan mampu menggetarkan spiritualitas mereka :

1. Bersedekahlah saat merasa ingin bersedekah, jangan sampai merasa terpaksa. Bila saat bersedekah kita justru merasa kesal, maka akan tertanam di bawah sadar bahwa bersedekah itu tidak enak, bahkan mengesalkan. Mungkin seperti kalau kita bayar parkir kepada preman di pinggir jalan. Ada perasaan terpaksa, tak berdaya, bahkan dirampok. Bukan karena besar kecilnya nilai uang, tapi rela tidaknya perasaan saat memberikan sumbangan. Kalau anda sedang suntuk, tunggu sampai hati lebih riang. Memberi dengan berat hati akan memberi asosiasi buruk ke alam bawah sadar.

2. Bersedekahlah kepada sesuatu yang disukai sehingga hati Anda tergetar karenanya. Mungkin suatu ketika Anda ingin menyumbang yatim piatu, di waktu lain mungkin menyumbang perbaikan jembatan, mungkin pelestarian satwa yang hampir punah, mungkin disumbangkan untuk modal usaha bagi seorang pemula. Intinya adalah Anda sebaiknya menyedekahkan pada hal yang membuat perasaan Anda tergetar. Setiap orang akan berbeda. Seringkali seseorang menyumbang ke tempat ibadah, tapi hatinya tidak sejalan, hanya karena kebiasaan. Menyumbang yang tak bisa dihayati tak akan menggetarkan kalbu.

3. Bersedekahlah dengan sesuatu yang bernilai bagi Anda. Kebanyakan wujudnya adalah uang, namun lebih luas lagi adalah benda yang juga anda suka, pikiran, tenaga, ilmu yang anda suka. Dengan menyumbang sesuatu yang anda sukai, membuat anda juga merasa berharga karena memberikan sesuatu yang berharga.

4. Bersedekahlah dalam kuantitas yang terasa oleh perasaan. Bagaimana rasanya memberi sedekah 25 rupiah? Bagi kebanyakan orang nilai ini sudah tidak lagi terasa. Untuk seseorang dengan gaji 1 juta, maka 50 ribu akan terasa. Bagi yang perpenghasilan 20 juta, mungkin 1 juta baru terasa. Setiap orang memiliki kadar kuantitas berbeda agar hatinya tergetar ketika menyumbang. Nilai 10 persen biasanya menjadi anjuran dalam sedekah (bukan wajib), mungkin karena sejumlah nilai itulah kita akan merasakan "beratnya" melepas kenikmatan.

5. Menyumbang anonim akan memberi dampak lebih kuat. Ini erat kaitannya dengan ketulusan, walaupun tidak anonim juga tak apa-apa. Dengan anonim lebih terjamin bahwa kita hanya mengharap balasan dari ALLAH SWT (ikhlas).

6.Bersedekah tanpa pernah mengharap balasan dari orang yang anda beri. Yakinlah bahwa Allah SWT akan membalas, tapi tidak lewat jalan orang yang anda beri. Pengalaman para pelaku kebanyakan menunjukkan bahwa balasan datang dari arah yang lain.

7. Bersedekahlah tanpa mengira bentuk balasan Allah SWT atas sedekah itu. Walaupun banyak pengalaman menunjukkan bahwa kalau bersedekah uang akan dibalas dengan uang yang lebih banyak, namun kita tak layak mengharap seperti itu. Siapa tahu sedekah itu dibalas Allah SWT dengan kesehatan, keselamatan, rasa tenang, dll, yang nilainya jauh lebih besar dari nilai uang yang disedekahkan.

Sumber: milis sedekah sehari Rp.1000,00

Friday, March 20, 2009

"dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran jiwanya, maka merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. al-Hasyr:9)

''Di... coba lihat, itu yang di depan menawarkan apa...?" Mamah meminta saya untuk memeriksa ketika terdengar seseorang menjajakan sesuatu di depan rumah. Saya pun segera beranjak ke depan, lalu bertanya kepada si bapak di depan, apa yang dijualnya. Setelah itu kembali ke dalam rumah.

"'Mah... Bapak itu menawarkan gula merah."

"Oh, si Bapak yang itu... Beli tiga bungkus," kata Mamah. Mamah sepertinya sudah hapal dengan si bapak penjual itu.

"Mamah, kita kan masih ada gula merah. Kemarin Adi lihat masih ada beberapa bungkus di dapur," ujar saya. Di rumah saya memang memanggil nama diri sendiri ketika bercakap-cakap dengan orang tua.

"Beli aja, 'Di, kasihan... Si Bapak sedang panas terik begini ke sana ke mari menawar-nawarkan dagangannya. Mungkin belum ada yang beli..."
Mamah tetap meminta saya membelinya.

Akhirnya meskipun saya masih bertanya-tanya dengan cara berpikir Mamah, saya pun ke depan lagi dan membeli tiga bungkus gula seperti Mamah minta. Mamah juga sempat ke depan dan menyapa si bapak penjual gula, sambil menawarkan air untuk minum. Bapak penjual gula berterima kasih, tapi dia memilih segera pergi untuk kembali menjajakan gulanya.

Pada suatu hari hujan turun begitu lebatnya, kilat sambar menyambar.
“Di, kamu punya uang berapa sekarang?” terdengar suara mamah mengagetkan.
“Apa ma?”
“Kamu punya uang berapa sekarang?”

Meskipun saya belum memahami benar pertanyaan mamah, saya tetap beranjak dari ruang TV ke kamar untuk mengambil uang tiga puluhan ribu, dan dengan segera memberikan ke mamah. Saya masih bertanya tanya dalam hati, buat apa mamah minjam uang dalam keadaan hujan lebat begini, tidak mungkin mamah mau pergi ke warung atau supermarket terdekat dalam keadaan seperti ini.

“Mamah minjam duit ini dulu ya, nanti malam setelah papa pulang mamah akan ganti”
Saya cuma mengangguk pelan, dengan penasaran saya mengikuti mamah keteras depan dan “Subhanallah. .” ternyata disana ada seorang kakek tua dengan pakaian yang basah kuyup sedang menyeruput kopi panas, disampingnya ada pisang goreng yang juga masih hangat, Saya ingat mamah memang tadi menggoreng pisang dan membuat kopi. Saya cuma memperhatikan mamah berbicara dengan bapak tua itu, ternyata bapak itu berjualan lemari kecil setinggi kira-kira 1 meter dengan cat yang masih kasar dan papan yang kurang rata. Dan mamah ternyata membelinya, Saya sempat mendengar harga lemari itu Rp. 75.000,- dan mamah membelinya tanpa menawar.
“Di, tolong bawa lemari ini”
Saya dengan cekatan membawa lemari itu kedalam, didalam ruangan saya sempat bertanya buat apa lemari ini dan taruh dimana. Bukankah kita sudah punya banyak lemari, saya rasa barang ini tidak perlu.

Mamah dengan tersenyum menjawab, “Kasihan bapak itu, Dia datang dari bogor berjalan kaki keliling, dan belum ada yang beli, Dia cape mana kehujanan lagi..”
Saya diam saja, memang begitulah sifat mamah saya, dan ini bukan yang kedua atau ketiga, sudah sering mamah seperti ini, jadi saya sedikit maklum.

***

Kejadian di atas tertanam kuat pada benak saya. Perlu beberapa lama untuk menyerap dan memahami dorongan kejiwaan apa yang ada di lubuk hati Mamah, untuk membeli barang yang sebetulnya tidak dibutuhkannya. Pembelian yang semata didasarkan pada rasa kasihan kepada penjual itu.

Saya pernah mendengar Mamah di masa anak-anaknya sudah mesti membantu Abah dan Embah (panggilan saya kepada Kakek dan Nenek yang sekarang sudah tiada) dengan berjualan. Barangkali tempaan kehidupan seperti itu termasuk bagian yang membentuk jiwa yang lembut menyayangi orang lain.

Ah... saya jadi malu. Mungkin secara keilmuan saya lebih tahu daripada Mamah tentang arti al-itsar atau mendahulukan orang lain daripada diri sendiri. Satu kondisi puncak seseorang dalam membuktikan persaudaraan dalam keimanan; Barangkali saya lebih tahu juga sifat Nabi Muhammad saw. yang diriwayatkan tak pernah menolak seseorang yang meminta sesuatu kepada beliau. Kalau perlu beliau membantu dengan meminjam dahulu kepada orang lain. Barangkali juga saya lebih hafal ayat "dan barangsiapa dipelihara dari kekikiran jiwanya, maka merekalah orang-orang yang beruntung" (QS. al-Hasyr:9). Akan tetapi hikmah itu rupanya lebih dahulu dimiliki Mamah. Ah... ternyata rasionalitas yang ada di kepala saya amat tipis perbedaannya dengan sikap tidak ber-empati kepada orang lain.

Dan sekarang saya masih terus mendidik jiwa untuk semakin meresapi indahnya bersikap dermawan. Dan juga Sikap memberikan sesuatu kepada orang dengan maksud membahagiakan orang tersebut tanpa meminta imbalan, Sikap ini juga yang coba saya bagi kepada isteri dan anak-anak. Atau mungkin malah isteri saya yang lebih dahulu menangkap hikmah ini dan saya belajar darinya.

***

Sebuah keluarga, seorang ayah, ibu dan empat orang anak, mampir di sebuah rumah makan pada perjalanan pulang mudik lebaran. Suasana pulang mudik mudah terlihat dari isi mobil mereka. Berbagai oleh-oleh dari orang tua memenuhi mobil mulai peuyeum ketan, opak sampai 3 karung beras yang dipanen dari beberapa petak sawah orang tua mereka.


Di tengah suasana makan nampak seorang bapak tua menghampiri meja makan mereka. Bapak itu membawa wadah besi ukuran satu liter yang biasa dipakai para penjual beras di pasar. Bapak itu pun menawarkan berasnya untuk dibeli, seraya menyebutkan kualitas berasnya bagus dan tidah mahal pula.

"Beras Cianjur asli, Pak...?" tanya ayah empat orang anak itu setelah menghentikan suapan-suapan makannya.

"Sumuhun, Cep...," jawab si bapak membenarkan.

"Gimana 'Bu...?" Si ayah mengalihkan pandangannya kepada isterinya. Si isteri menjawab tatapan mata suaminya dengan penuh pengertian.

"Pak, punten dibungkus lima kilo, nya." Si isteri langsung menyampaikan pesanan pembelian kepada si bapak.

"Hatur nuhun, Neng. Bapak bawa beras dan timbangannya ke sini ya...?" kata bapak penjual beras.

"Teu kedah, Pak. Ditimbang di tempat Bapak aja. Nanti beras yang sudah ditimbangnya dibawa ke sini," giliran si ayah menimpali.

Anak-anak di keluarga itu memperhatikan dengan seksama apa yang dilakukan orang tua mereka. Barangkali di benak mereka ada keheranan, mengapa ayah dan ibu membeli beras, sementara di mobil ada 3 karung beras dari kakek mereka...

Thursday, March 19, 2009

AGAR SETIAP MENIT MENGINGAT ALLAH SWT

Memasuki bulan Ramadhan seperti ini, sering para dai menyampaikan hadits-hadits yang berkaitan dengan keutamaan puasa Ramadhan. Di antara hadits tersebut, sebuah hadits dari Rasulullah saw yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra berbunyi:

Artinya: “Semua amal anak Adam dilipatgandakan. Kebaikan diberi balasan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat. Allah swt berfirman, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan hanya Aku yang bisa memberi balasannya. Sebab seorang yang berpuasa itu meninggalkan nafsunya dan makannya karena mengaharapkan-Ku. Untuk seorang yang berpuasa ada dua buah kebahagiaan, kebahagiaan saat berbuka dan kebahagiaan saat bertemu Tuhannya. Sungguh, bau mulutnya lebih wangi di sisi Allah swt dari bau minyak misik.” (Diriwayatkan dalam Sahih Muslim:276. Dengan beberapa kalimat yang mirip diriwayatkan pula dalam Sahih Bukhari, Muwattha’, Sunan Tirmidzi, Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasai, dll.)

Dari hadits tersebut kita diberi petunjuk oleh Rasulullah saw bahwa amal kebaikan manusia digandakan sekurang-kurangnya sepuluh kali lipat. Oleh sebab itulah Rasulullah saw juga memberi petunjuk untuk puasa tiga hari dalam sebulan, agar hal itu bisa bernilai puasa sebulan. Atau menambah puasa sunnah enam hari di bulan Syawwal agar bisa dihitung puasa setahun [yakni, 30 hari puasa Ramadhan plus 6 hari puasa Syawwal, sehingga berjumlah 36 hari. Dengan kelipatan 10 maka akan sama dengan puasa 360 hari atau puasa setahun].

Berpedoman pada metoda Rasulullah saw tersebut, kita pun bisa mempergunakannya untuk amalan-amalan lain. Salah satunya adalah dalam berdzikir. Dalam Al-Qur’an kita diminta untuk ingat Allah swt sebanyak-banyaknya (Al-Ahzab 33:41-42)

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah Allah dengan banyak berdzikir. Dan bertasbihlah (sucikanlah) Allah pada waktu pagi dan petang.”

Agar kita banyak berdzikir maka perlu kita membuat sebuah pedoman. Yakni tak ada menit yang kita lalui tanpa mengingat Allah swt. Caranya, dengan mengikuti metoda Rasullullah saw tadi.

1. Setiap memasuki atau akan keluar dari satu jam kita baca 6 kali sekitar 2 menit (6 kali 10 sama dengan 60, jadi tiap menit satu):

• Kalimah thayyibah

Subhanallaah, wal hamdu lillaah, wa laa ilaaha illallaah, wallaahu akbar, wa laa haula wa laa quwwata illaa billah.” Seperti yang dianjurkan Ibnu ‘Umar dalam Mushnaf Ibnu Syaibah.

• Istighfar (agar kesalahan-kesalahan yang lewat, setidaknya dalam satu jam, diampuni Allah swt)

"Astaghfirullaahal aziim, alladzii laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuum, wa atuubu ilaih” Seperti disabdakan Rasulullah saw dalam Sunan Tirmidzi dan Mustadrak al-Hakim.

• Shalawat Nabi (agar amal dan doa yang kita panjatkan diterima Allah swt, siapa tahu juga dihadirkan pada Rasulullah saw)

Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad, kama shallaita ‘alaa Ibraahiima wa ‘alaa aali Ibraahiim. Innaka hamiidum majiid. Allaahumma baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad, kama shallaita ‘alaa Ibraahiima wa ‘alaa aali Ibraahiim. Innaka hamiidum majiid.” Seperti diajarkan Rasulullah saw dalam Shahih Bukhari:3370 dan berbagai kitab hadits lain.

2. Pada malam hari sebelum tidur kita baca 3 kali sekitar 1 menit dzikir di atas. Begitu juga 3 kali waktu bangun tidur. Meskipun tidur kita lebih lama dari 60 menit, namun pada saat tidur kita dalam kondisi tidak sadar sehingga insya Allah tidak akan diminta pertanggung-jawaban, sehingga membacanya 6 kali cukup.

Cerita Dosa Zina ke Pasangan

Senin, 16/03/2009 15:46 WIB

Assalamu'alaikum wr. wb.,

Pak Ustadz, apakah dosa zina yg tlh dilakukan oleh seseorang pd masa lalu hrs diceritakan kpd calon pasangannya? Karena kalau memang hrs diceritakan bukankah itu namanya membuka aib, sementara dari keterang Ustadz yg prnh sy baca, salah satu yg harus dilakukan oleh seseorang yg pernah berzina adalah menutupi aibnya dan tidak menceritakannya kepada siapa pun. Tp kalau tidak diceritakan, jika suatu saat pasangan tau, takutnya akan jd bumerang bagi rumah tangga tsb.

Terima kasih,

Assalamu'alaikum wr. wb.

Ibunya A

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb

Allah swt meminta kepada setiap orang yang melakukan perbuatan dosa dan maksiat untuk segera bertaubat kepada Allah swt sebagai bukti akan masih adanya keimanan didalam dirinya, sebagaimana firman Allah swt :

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


Artinya : “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur : 31)

Di dalam firman Allah di ayat lain disebutkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا


Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At Tahrim : 8)

Didalam dua ayat tersebut Allah swt memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk segera bertaubat atas segala kesalahan dan dosa yang dilakukan karena taubat merupakan wajib ain disetiap waktu dan keadaan.

Al Qurthubi mengatakan bahwa tentang taubat nashuha ini telah terdapat 23 pendapat para ulama dan diantara yang disebutkan oleh beliau adalah pendapat al Junaid bahwa taubat nashuha adalah orang itu melupakan dosanya dan tidak menyebutkannya lagi selama-lamanya karena siapa yang benar taubatnya maka ia menjadi orang yang mencintai Allah swt dan siapa yang mencintai Allah swt maka ia akan melupakan sesuatu selain Allah swt. (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz XVIII hal 422)

Dan seorang yang bertaubat dengan taubatan nashuha maka diharuskan baginya untuk meninggalkan dan menyesali perbuatan dosanya itu, bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi selama-lamanya serta jika kesalahan tersebut terkait dengan hak-hak orang lain maka diharuskan baginya untuk mengembalikannya kepada yang memilikinya.
Allah swt menjanjikan ampunan bagi setiap hamba-Nya yang bertaubat dari segala kemaksiatan yang dilakukannya itu betapapun besarnya dosa tersebut selama orang itu tidak melakukan dosa-dosa syrik.

Athiyah Saqar mengatakan apabila seorang wanita yang melakukan maksiat tidak menyebarluaskan tentang penyimpangannya dan tidak diketahui kecuali dirinya atau orang-orang tertentu dari keluarganya maka tidak perlu baginya untuk memberitahukan tentang masa lalunya itu kepada orang yang datang meminangnya (calon pasangannya).

Umar bin Khottob ra pernah melarang seorang laki-laki yang ingin menjelaskan aib putrinya tentang apa yang menimpa dirinya tatkala orang itu ingin menikahkannya. Hal itu merupakan kejanggalan yang tidak ada penipuan didalamnya. Dan jika seorang yang kehilangan keperawanannya kemudian melakukan operasi pencangkokan atau melakukan penggantian maka ini termasuk penipuan yang kelak akan tersingkap...

Dan seandainya lelaki yang meminangnya itu bertanya kepadanya tentang masa lalu dan aib-aibnya maka diharuskan baginya untuk memberitahukannya karena bisa jadi apabila lelaki itu mengetahui kejujuran dan kesungguhannya dalam bertaubat ia akan bersimpati atas keterusterangannya sehingga menikahinya. (Fatawa al Azhar juz XX hal 43)

Jadi dibolehkan bagi seorang wanita yang pernah melakukan perbuatan zina dimasa lalunya kemudian dirinya telah bertaubat dengan taubat nashuha atas perbuatannya itu untuk tidak memberitahukan perihal aib tersebut kepada lelaki yang datang meminangnya dikarenakan Allah swt telah menutupi aibnya tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Setiap umatku mendapat pemaafan kecuali orang yang menceritakan (aibnya sendiri). Sesungguhnya diantara perbuatan menceritakan aib sendiri adalah seorang yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari dan sudah ditutupi oleh Allah swt kemudian dipagi harinya dia sendiri membuka apa yang ditutupi Allah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Akan tetapi apabila ia ditanya oleh lelaki yang datang meminangnya tentang aib-aib masa lalunya maka hendaklah dia berterus terang dan memeritahukan kepadanya. Hal ini diperbolehkan dan bukan termasuk membuka aib dikarenakan untuk suatu kemaslahatan sebagaimana disebutkan hadits diatas. Setelah itu hendaklah dirinya bertawakal dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah swt apakah lelaki tersebut akan menerima atau menolak dirinya untuk dijadikan sebagai pasangan hidupnya.

Wallahu A’lam